Ulah Ketidak Hati-Hatian

Author Avatar

RajaBokeps

Joined: Mar 2025
Bagikan Video Bokep Ini

Cerita Seks Artis Terbaru

Natasha Rizky Pradita, yang akrab dipanggil Caca, berdiri di depan cermin, meneliti penampilannya. Usianya sudah 31 tahun, namun wajahnya masih memancarkan ketenangan yang khas. Matanya menatap bayangan dirinya yang kini jauh berbeda dari sosok presenter atau model yang dulu sering muncul di layar kaca. Ia menyentuh lembut jilbab syar’i berwarna cokelat tua yang membingkai wajahnya, lalu membenarkan letak ujungnya yang tergerai hingga menutupi dada. Jilbab itu dibuat dari bahan yang jatuh dan lembut, menambah kesan anggun dan sederhana. Di balik gamis cokelat yang senada, ia bisa merasakan celana panjang yang menjadi alas, serta kaus kaki yang menutupi setiap inci kakinya. Lengannya ditutupi oleh detail lipatan-lipatan kain yang halus dan ujung manset dengan kancing mutiara, memberikan sentuhan elegan pada pakaian yang sederhana. Semuanya tertata rapi, tersembunyi dari pandangan publik.

Senyum tipis terukir di bibirnya, merasa lega karena penampilannya sudah sempurna. Setelah memastikan semuanya sempurna, ia mengambil tas tangan kecil berwarna krem yang serasi dengan jilbabnya, lalu keluar dari kamar. Langkahnya ringan, namun dipenuhi pikiran yang tak beraturan. Anak-anaknya sedang bersama Desta, dan hari ini adalah waktunya untuk dirinya sendiri. Sejak bercerai, momen seperti ini menjadi sangat berharga baginya, sebuah kesempatan untuk bernapas.

Mobilnya melaju pelan menuju sebuah mal di pusat kota. Sinar matahari siang menyapa hangat dari balik kaca, namun hatinya terasa dingin. Ia tak tahu persis apa yang dicarinya hari ini. Sebuah buku? Pakaian baru? Atau sekadar melarikan diri dari kesepian yang kadang datang tak terundang?

” Aku hanya ingin melihat dunia luar. Itu saja, ” batinnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Sesampainya di mal, ia memarkir mobil dan berjalan memasuki gedung. Suara riuh pengunjung, musik dari toko-toko, dan aroma makanan menyambutnya. Caca membiarkan dirinya tenggelam dalam keramaian. Ia berkeliling, dari satu toko ke toko lain, sesekali berhenti untuk melihat-lihat, namun tidak ada yang benar-benar menarik perhatiannya. Ia bisa merasakan tatapan beberapa orang yang mencoba menebak siapa dirinya, namun penampilan syar’i ini memberikan tameng, sebuah privasi yang sangat ia butuhkan.

Ia berhenti di depan sebuah toko buku. Pandangannya menjelajahi rak-rak yang dipenuhi novel dan buku-buku non-fiksi. Jantungnya berdegup pelan, seperti ingin menemukan sesuatu yang bisa mengisi kekosongan. Tiba-tiba, ia merasakan sentuhan lembut di bahunya. Sentuhan itu tidak kasar, namun cukup untuk menghentikan lamunannya.

” Ya Tuhan, ” batinnya, seketika tersentak karena ia tahu sentuhan itu berasal dari seorang laki-laki yang bukan mahramnya.

Ia menoleh, dan matanya bertemu dengan sepasang mata yang tajam, penuh misteri. Di sampingnya, berdiri seorang satpam paruh baya. Wajah keriputnya dihiasi senyum yang tidak mencapai matanya yang gelap, dan seragamnya yang kebesaran justru menambah kesan mengancam.

“Maaf, saya tidak bermaksud mengagetkan,” ucapnya. “Hanya… Anda terlihat seperti sedang mencari sesuatu yang penting.”

” Apakah ada sesuatu yang saya butuhkan? ” batin Caca, mencoba membaca makna tersembunyi di balik kata-kata pria itu.

(06).Jpg

“Oh, tidak, terima kasih, saya hanya melihat-lihat saja,” jawab Caca dengan ramah dan lembut, sambil mengalihkan pandangannya kembali ke buku-buku.

” Mengapa dia begitu ramah? Ini aneh. Tapi aku tidak ingin bersikap kasar, ” batinnya.

Saat Caca melangkah pergi, sebuah desakan tiba-tiba muncul. Perutnya terasa mulas, tanda bahwa ia harus segera mencari toilet. Ia mempercepat langkahnya, mencari petunjuk arah. Keramaian mal yang tadinya ia nikmati kini terasa menjengkelkan. Ia butuh tempat yang sepi, privasi, dan yang paling penting, sebuah toilet.

Ia menemukan petunjuk arah dan bergegas menuju area toilet. Di belakangnya, satpam itu memperhatikan setiap gerakannya. Senyum ramah di wajahnya kini berubah menjadi seringai licik. Ia tahu di mana letak toilet wanita, dan ia juga tahu ada sudut tersembunyi yang memungkinkan seseorang untuk mengintip.

Caca akhirnya sampai di pintu toilet. Napasnya sedikit terengah-engah. Ia melirik ke belakang, tidak melihat siapa pun. Dengan cepat, ia masuk ke dalam, memilih salah satu bilik paling ujung. Ia mengunci pintu, lalu melonggarkan jilbab dan gamisnya yang terasa mencekik. Ia menunduk, membenahi posisi duduknya di kloset, merasakan kelegaan yang luar biasa.

Sementara itu, di luar, satpam itu menyelinap ke lorong servis di sebelah toilet. Ia tahu tempat ini, tempat di mana tidak ada kamera pengawas. Di dinding, ada sebuah lubang kecil yang sudah lama ia temukan, tersembunyi di balik pipa-pipa. Lubang itu memberikan pemandangan sempurna ke dalam bilik toilet paling ujung. Jantungnya berdebar, bukan karena ketegangan, melainkan antisipasi. Ia menempelkan matanya di lubang kecil itu, menunggu.

Cahaya lampu neon yang redup di dalam bilik menyoroti siluet Caca. Satpam itu menahan napas, matanya tak berkedip. Ia melihat Caca perlahan melonggarkan jilbabnya, menyingkap lehernya yang jenjang dan bahu yang tertutup gamis. Gerakan Caca begitu anggun, bahkan dalam situasi yang paling sederhana. Satpam itu menelan ludah. Ia melihat bagaimana Caca menarik gamisnya ke atas, memperlihatkan celana panjang di bagian dalam. Sebuah pemandangan yang seharusnya biasa saja, namun dalam imajinasinya, semua itu terasa begitu vulgar dan pribadi. Ia melihat Caca duduk, dengan kedua kaki rapat dan pakaian yang tersingkap sebagian. Jantungnya berdegup semakin kencang. Ia mengamati setiap lekuk tubuh yang samar terlihat, setiap gerakan yang dilakukan Caca di dalam bilik.

” Ya Tuhan, aku tidak percaya ini, ” batinnya. Senyum licik di wajahnya semakin lebar. Pemandangan di hadapannya adalah fantasi yang menjadi kenyataan, fantasi yang telah lama ia pendam dan kini bisa ia nikmati secara langsung.

Beberapa menit kemudian, Caca keluar dari bilik, terlihat lebih segar namun wajahnya sedikit pucat karena kelelahan. Ia membenahi kembali jilbab dan gamisnya, memastikan semuanya rapi seperti semula. Begitu ia keluar dari toilet, satpam itu sudah berdiri di depan pintu, seolah-olah baru saja berjalan melewatinya secara kebetulan. Kelelahan yang ia rasakan mulai mendera. Pandangannya sedikit kabur, dan kakinya terasa lemas. Saat itulah, satpam itu muncul.

“Oh, Mbak. Saya lihat dari tadi wajahnya agak pucat. Mungkin butuh sesuatu?” ucapnya, dengan senyum yang masih terlihat sok ramah, namun kali ini ada kilatan aneh di matanya. Pria itu menyodorkan sebotol minuman energi yang masih dingin.

Caca menelan ludah. Jantungnya berdegup aneh. Instingnya berteriak, memperingatkan bahaya, tetapi ia ragu untuk menolak secara langsung. Ia mencoba tersenyum, “Tidak, terima kasih, Pak. Saya baik-baik saja.” Namun, satpam itu tidak bergeming. Ia mendorong botol itu lagi, “Ayolah, Mbak. Ini minuman dari toko sebelah, lagi promo. Saya cuma disuruh bagikan ke pengunjung yang terlihat lelah.” Caca menghela napas, merasa tidak enak hati menolak terus-menerus. Ia meraih botol itu. Rasa manis yang terasa aneh di lidahnya, seperti perpaduan gula dan sesuatu yang pahit. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi beberapa detik kemudian, sensasi hangat yang aneh menyebar dari perutnya ke seluruh tubuh, membuat kepalanya terasa pusing.

“Saya permisi dulu, ya, Pak,” ucap Caca, kembali melangkah pergi, mencoba mengabaikan perasaan aneh di perutnya.

Satpam itu memandangi Caca yang berjalan menjauh. Matanya mengikuti setiap gerakannya, senyum liciknya kembali muncul. Ia tahu, dalam beberapa menit lagi, obat tidur yang ia larutkan di dalam botol minuman itu akan bekerja. Dan setelah itu, semua akan menjadi mudah.

” Sekarang, kita bisa main-main, Nyonya Cantik, ” batinnya.

Beberapa menit kemudian, efek obat itu benar-benar terasa. Caca berjalan terhuyung-huyung di koridor mal. Kepalanya terasa sangat berat, dan matanya mulai sulit untuk tetap terbuka. Ia mencoba berpegangan pada dinding, namun pegangannya terasa licin.

” Ada apa ini? Aku tidak merasa sakit… tapi kenapa aku sangat mengantuk? ” batinnya, panik.

Ia melihat sebuah kursi kosong di dekatnya, dan dengan sisa tenaganya, ia berjalan menuju kursi itu dan menjatuhkan diri. Pandangannya mulai kabur, suara-suara di sekitarnya terdengar seperti dengungan jauh. Ia berusaha keras untuk berpikir, mencari alasan kenapa ia merasa seperti ini.

Dari kejauhan, satpam itu, yang seragamnya bertuliskan nama Bambang di bagian dada kiri, mengamati Caca. Wajahnya yang keriput kini tidak lagi dipenuhi senyum. Matanya tajam, memindai keadaan sekitar. Ia memastikan tidak ada kamera tersembunyi atau orang lain yang memperhatikan mereka. Begitu melihat Caca sudah hampir tak sadarkan diri, ia bergegas mendekat.

Caca merasa ada seseorang di sampingnya, namun ia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia hanya bisa merasakan sentuhan pada bahunya. Sentuhan itu tidak selembut yang sebelumnya, kali ini lebih tegas dan memaksa.

“Ayo, Mbak. Sepertinya Mbak butuh istirahat,” ucap Bambang dengan suara yang rendah, nyaris berbisik, tidak ada lagi ramah-tamah di suaranya.

Caca mencoba melawan, mencoba berkata tidak, namun yang keluar dari mulutnya hanya gumaman yang tidak jelas. Tenaganya sudah habis. Ia merasakan tubuhnya diangkat, disandarkan pada bahu Bambang yang kokoh.

” Ini bukan pertolongan… ini jebakan. Aku harus lari… tapi kakiku… kakiku terasa berat sekali, ” batin Caca, yang sudah berada di ambang kesadaran.

Bambang, tanpa memedulikan tatapan orang-orang yang lewat, dengan cepat membawa Caca ke sebuah area tersembunyi. Area itu adalah lorong servis yang gelap dan pengap, tempat di mana hanya staf yang berani masuk. Bau sampah dan cairan pembersih menusuk hidung, namun ia tidak peduli. Ia mendorong pintu besi yang sudah berkarat, dan membimbing Caca masuk ke dalam. Di balik pintu itu, ada sebuah ruangan kecil, tanpa jendela, dengan satu lampu redup yang berkedip-kedip. Ruangan itu adalah rahasia kecilnya, tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun di mal itu.

Dengan hati-hati, Bambang menurunkan Caca ke sebuah kursi plastik yang tergeletak di sudut ruangan. Caca benar-benar pulas, tidak merasakan apa-apa. Jilbabnya sedikit miring, dan tangannya terkulai lemas di pangkuan. Pakaian syar’i yang Caca kenakan tampak suci, namun di mata Bambang, itu adalah tantangan yang harus ia taklukkan. Ia menutup pintu, dan kegelapan seketika menyelimuti ruangan itu, hanya menyisakan cahaya redup dari lampu yang berkedip.

Tangan Bambang bergetar saat menyentuh pipi Caca. Sentuhan itu dingin, namun membakar fantasinya. Ia membungkuk, mencium pipi Caca. Aroma parfum Caca—perpaduan bunga melati dan cendana—terasa memabukkan. Tangan kasarnya bergerak turun, menyentuh dada Caca dari luar gamis yang longgar. Kain tebal itu terasa halus di bawah jarinya, namun ia bisa merasakan kontur lembut di baliknya. Ia meremasnya perlahan, merasakan setiap inci yang tersembunyi. Sensasi itu, melalui perantara kain, membuat napas Bambang tercekat. Ia melanjutkan aksinya dengan menyentuh perut Caca, mengusapnya dengan lembut. Setiap detik dari aksinya terasa seperti kemenangan kecil. Caca, yang tak sadarkan diri, hanya bisa menjadi objek dari fantasi liar Bambang. Ia mengusap paha Caca dari luar gamis, merasakan betapa kencangnya otot-ototnya.

Bambang mundur sedikit, mengambil napas dalam-dalam. Ia melihat kembali wajah Caca. Wajahnya yang cantik dan suci, terhanyut dalam tidur, menjadi pemandangan yang sempurna baginya. Ia merasa menang. Pemandangan ini, dan perbuatan yang telah ia lakukan, memberinya kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pakaian syar’i yang menutupi Caca justru menjadi bumbu tersendiri baginya, seolah-olah ia sedang menaklukkan sesuatu yang suci dan murni.

(08).Jpg

” Ini bahkan lebih baik dari yang kubayangkan, ” batinnya. ” Kamu sepenuhnya milikku sekarang, ” batinnya.

Bambang menatap sosok Caca yang terlelap dalam tidur, terbaring di kursi plastik yang reyot. Napasnya terengah, matanya menyala dengan campuran nafsu dan kemenangan. Aroma wangi Caca yang menenangkan kini terasa memabukkan. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Jari-jarinya yang kasar membelai jilbab Caca. Hatinya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena sensasi lembut kain yang menutupi leher dan rambut Caca. Ia mendekatkan wajahnya, menghirup aroma parfum yang memabukkan dari balik kain syar’i itu. Sebuah aroma surga yang tersembunyi. Caca menggeliat pelan, seolah terganggu, namun matanya tetap terpejam. Bambang berhenti sejenak, mengamati setiap ekspresi di wajah Caca. Tidak ada perlawanan, tidak ada penolakan, hanya keheningan yang damai. Ia merasa semakin berani.

Dengan gerakan yang lebih pasti, Bambang meremas gamis Caca, merasakan bahan yang lembut dan tebal. Ia tahu bahwa di balik gamis itu, ada sebuah rahasia yang jauh lebih menggoda. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik resleting gamis Caca, yang terletak di bagian belakang leher, hingga gamis itu terlepas dari tubuh Caca. Pakaian syar’i Caca, yang tadi menutupi tubuhnya dengan sempurna, kini tergeletak di lantai, menciptakan pemandangan yang kontras antara kesucian dan nafsu. Di balik gamis itu, Caca mengenakan sebuah tank top berbahan katun berwarna putih yang tipis, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Ia juga mengenakan sebuah celana kulot panjang berwarna senada. Pakaian ini terasa lebih pribadi, lebih intim. Bambang menelan ludah, matanya menelusuri setiap inci tubuh Caca yang kini terlihat. Ia merasakan sensasi geli di perutnya.

” Aku selalu tahu kamu memiliki tubuh yang indah, ” batinnya.

Tangan Bambang bergetar saat ia menyentuh kulit Caca. Dinginnya telapak tangannya berpadu dengan hangatnya kulit Caca. Ia mulai menyentuh area leher, lalu turun ke bahu, dan akhirnya ke lengan. Ia membelai kulit Caca dengan lembut, seolah Caca adalah patung porselen yang rapuh. Ia menyentuh setiap lekuk, setiap garis, menikmati setiap detiknya. Bambang kemudian menggerakkan tangannya ke area perut Caca. Di sana, di balik tank top putih yang tipis, ia bisa merasakan kehangatan dan kelembutan. Ia membelai, meremas, dan sesekali mencubit perut Caca, merasakan bagaimana kulit itu kembali ke bentuknya.

” Apakah kamu merasakan ini, Nyonya Cantik? ” batinnya, penuh gairah.

Caca tidak memberikan respons, hanya napasnya yang teratur dan damai. Bambang merasa semakin gila. Ia melirik ke pakaian Caca yang tergeletak di lantai. Ada celana panjang dan kaus kaki yang menutupi kaki Caca. Itu adalah batasan terakhir yang harus ia tembus. Dengan perlahan dan hati-hati, Bambang menarik celana kulot Caca, dan melepas kaus kaki Caca. Kaki Caca, yang selama ini tertutup rapat, kini terbuka sepenuhnya. Kulitnya terasa sangat halus dan lembut. Bambang menyentuh jari-jari kaki Caca, lalu memijat telapak kakinya dengan lembut.

” Aku akan memanjakanmu, Nyonya Cantik, ” batinnya. ” Aku akan membuatmu merasa nikmat, ” batinnya.

Bambang kemudian kembali ke bagian atas tubuh Caca. Ia menarik tank top Caca ke atas, menyingkap dada Caca. Dadanya yang berisi, ditutupi oleh sebuah bra berwarna putih, terlihat sangat indah. Bambang menelan ludah, lalu ia meraba bra itu, merasakan bahan yang tipis dan lembut. Ia memijat, meremas, dan mencubit bra itu, mencoba merasakan kehangatan di baliknya.

” Ya Tuhan, ini adalah surga dunia, fantasi terliarku. Aku telah menaklukkan wanita yang suci itu, dan aku merasa seperti seorang raja. Sentuhan kulitnya yang lembut, dinginnya ruangan, dan kehangatan tubuhnya yang kontras, semua ini membuatku merasa gila, ” batinnya, suaranya serak karena gairah.

Caca masih tak sadarkan diri, namun tubuhnya sedikit gemetar, mungkin karena dinginnya ruangan atau sentuhan Bambang. Bambang tidak peduli. Ia terus melanjutkan aksinya, menikmati setiap sentuhan, setiap sensasi, setiap detik yang ia miliki bersama Caca. Fantasi liarnya kini menjadi kenyataan. Ia telah menaklukkan wanita yang suci itu, dan ia merasa sebagai raja.

Cahaya lampu yang berkedip-kedip di dalam ruangan memancarkan bayangan mereka berdua di dinding. Bayangan Caca yang terbaring lemas di kursi, dan bayangan Bambang yang terus menyentuh, meraba, dan memijat tubuh Caca. Suara napas mereka berdua memenuhi ruangan, dan waktu terasa berhenti.

Bambang tidak mendengar apa-apa. Ia tersenyum licik, lalu menarik celana dalam Caca. Pemandangan itu adalah hal terakhir yang ia lihat sebelum kesadarannya kembali menghilang, dibalut kabut tebal yang dingin dan mencekam. Bambang menghela napas panjang, puas. Ia menyingkirkan celana dalam Caca ke samping, lalu duduk di lantai, mengamati Caca yang kini benar-benar terbaring pulas. Tubuh Caca yang setengah telanjang, di antara tumpukan pakaiannya yang syar’i, menciptakan kontras yang membakar imajinasinya. Jilbab, gamis, dan kaus kaki yang tergeletak di lantai adalah simbol dari penaklukan. Ia telah berhasil meruntuhkan dinding yang selama ini memisahkan mereka.

” Aku berhasil menaklukkanmu, Caca, ” batinnya, penuh kemenangan. ” Kamu adalah kesucian yang ingin aku taklukkan, dan sekarang kamu milikku, ” batinnya.

Ia mendekat, menunduk, dan mengecup bibir Caca. Bibir Caca yang dingin dan tidak responsif, terasa begitu lembut. Sensasi itu membuatnya gila. Ia beralih ke leher Caca, menghirup aroma parfumnya yang memabukkan. ” Kamu sangat wangi, Nyonya Cantik, ” bisiknya dalam hati, ” aku ingin menciummu setiap saat, hingga aku mabuk. “

Bambang meremas payudara Caca, merasakan kehangatan yang mengalir di balik bra putih yang tipis. Ia memijat, mencubit, lalu menarik tali bra Caca, melepaskan bra itu dari tubuh Caca. Payudara Caca yang berisi, kini terbuka sepenuhnya. Bambang menelan ludah, lalu ia menyentuh puting Caca. Puting Caca yang kecil dan kencang, terasa sangat lembut dan menggoda. Bambang kemudian menggerakkan tangannya ke area memek Caca. Ia menyentuh area yang tertutup rapat, merasakan kehangatan yang memancar dari sana. Ia memijat, meremas, lalu ia memasukkan satu jari ke dalam. Caca menggeliat pelan, seolah terganggu, namun matanya tetap terpejam.

” Ya Tuhan, ini adalah surga dunia, ” batinnya. ” Aku ingin menikmati ini selamanya, ” batinnya.

Bambang kemudian memasukkan dua jarinya, lalu tiga, lalu empat. Caca menggeliat tak berdaya, namun ia tidak bisa melawan. Bambang merasa semakin gila. Ia melanjutkan aksinya, menikmati setiap sentuhan, setiap sensasi, setiap detik yang ia miliki bersama Caca. Suara napas mereka berdua memenuhi ruangan, dan waktu terasa berhenti.

Bambang kemudian duduk di lantai, menghela napas panjang, penuh dengan kepuasan. Ia menatap tubuh Caca yang terbaring, lalu ia membayangkan bagaimana rasanya memiliki Caca, sepenuhnya. Fantasi itu membuatnya semakin gila. Ia tersenyum licik, lalu ia menarik celana dan ikat pinggangnya, lalu ia mengeluarkan kontolnya yang sudah mengeras.

” Sekarang, saatnya menikmati mahakaryaku, ” batinnya.

Bambang berdiri, lalu ia menelanjangi dirinya. Ia menatap tubuh Caca, lalu ia membungkuk, dan ia mulai mencium leher Caca. Caca menggeliat pelan, seolah terganggu, namun ia tetap tak sadarkan diri. Bambang memijat payudara Caca, lalu ia mencium puting Caca. Puting Caca yang kencang, terasa sangat lembut dan menggoda.

Bambang menelusuri paha Caca dengan jemarinya, perlahan membelai hingga ke pangkal paha. Ia merasakan kehangatan yang membara di antara celah pahanya. Ia memposisikan dirinya di atas tubuh Caca, lalu ia menyentuh memek Caca dengan ujung kontolnya. Sensasi itu, yang terasa sangat panas, membuatnya merinding. Bambang memejamkan mata, lalu ia memasukkan kontolnya, perlahan namun pasti. Ia merasakan otot-otot Caca yang kencang, meremas kontolnya yang besar. Ia mulai menyetubuhi Caca, menikmati setiap detiknya.

Setiap dorongan, ia merasakan betapa ketat dan hangatnya memek Caca. Sensasi luar biasa itu membuat napasnya terengah, sebuah geraman rendah keluar dari tenggorokannya. ” Gila… nikmat sekali, ” gumamnya. Setiap hentakan kontolnya terasa bergesekan dengan dinding lubang yang licin, sebuah pengalaman yang ia nikmati sepenuhnya. “Ahhh… Caca… ya…” bisiknya, suaranya serak karena gairah. Ia terus bergerak, dengan ritme yang semakin cepat dan agresif, mendorong dirinya lebih dalam, lebih kuat.

Kemudian, Bambang menurunkan Caca dari kursi dan membaringkannya di lantai. Ia berlutut di antara kedua kaki Caca, lalu ia memasukkan kontolnya ke dalam memek Caca. Ia menindih Caca, dan ia mulai menyetubuhi Caca dengan semangat.

“Ahhhhh… ahhhhh… ya… ini… ini lebih baik…” desah Bambang. Ia mulai menggenjot Caca dengan semangat. Setiap hentakan, ia merasakan betapa kencangnya lubang Caca, dan betapa nikmatnya sensasi itu. “Ahhh… Caca… ahhh… ya… ini… ini milikku…” desah Bambang, suaranya semakin serak karena gairah. Ia terus menggenjot Caca, menikmati setiap detiknya.

Bambang mendudukkan Caca di pangkuannya, punggungnya bersandar di dinding. Ia menelusuri lekuk pinggang Caca dengan jari-jarinya, menikmati kontras antara kehangatan kulit Caca dan dinginnya dinding yang berkarat. Ia menyetubuhi Caca dengan ritme yang lambat dan dalam, sengaja mengulur waktu. Ia ingin menikmati setiap detiknya, setiap sensasi yang ia rasakan. Jilbab Caca yang kini agak miring, membingkai wajah cantiknya yang terlelap. Pemandangan itu adalah fantasi terliarnya, menaklukkan wanita suci yang masih mengenakan pakaian syar’inya.

” Ini yang terbaik… Aku tidak ingin ini berakhir, ” batinnya.

Bambang lalu membungkuk, mencium leher Caca, mencium aroma parfumnya yang memabukkan. ” Kamu milikku… kamu milikku… kamu milikku, ” bisiknya, mengulangi kata-kata itu seperti sebuah mantra, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

(10).Jpg

Sementara itu, di dalam kegelapan kesadarannya, Caca mulai merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah sensasi panas yang asing, sebuah dorongan yang ritmis di dalam dirinya. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengoyak bagian terdalamnya, namun ia tidak bisa melawan. Kepalanya masih terasa berat, dan matanya enggan terbuka. Ia hanya bisa melihat bayangan-bayangan yang kabur, dan suara-suara yang terdengar seperti dengungan jauh.

” Apa ini? Kenapa… kenapa ada yang salah? ” batinnya. Ia berusaha keras untuk berpikir, mencari alasan kenapa ia merasa seperti ini. Otaknya terasa beku, namun sensasi panas di dalam tubuhnya semakin kuat.

Dengan susah payah, ia mencoba membuka matanya. Pandangannya sayu, dan ia membutuhkan waktu yang lama untuk fokus. Ia melihat bayangan yang bergerak-gerak di didepannya, tubuh telanjang seorang pria yang terus menggenjotnya. Ia melihat seragam satpam yang tergeletak di lantai, dan ada jilbabnya yang masih ia kenakan. Kengerian menusuk hatinya, membuat napasnya tercekat.

” Tidak… tidak mungkin… ini mimpi buruk, ” batinnya, panik.

Caca merasakan kontol Bambang di dalam memeknya. Rasanya perih, namun di saat yang sama, ada sensasi aneh yang tak bisa ia jelaskan. Sebuah campuran antara rasa sakit dan sesuatu yang asing, sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mencoba berteriak, namun suaranya hanya keluar sebagai gumaman serak.

” Ini nyata… ini bukan mimpi… Ya Tuhan, aku harus lari… ” batinnya, dengan air mata yang mulai mengalir dari matanya yang sayu.

Pandangannya perlahan mulai fokus pada ruangan di sekelilingnya. Ia melihat dinding-dinding yang kotor, pipa-pipa yang berkarat, dan sebuah lampu redup yang berkedip-kedip di atasnya. Ruangan itu terasa pengap, dan bau sampah bercampur dengan keringat. Ia menyadari ia berada di sebuah tempat tersembunyi, sebuah tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun. Dan di atasnya, Bambang terus menggenjot, menikmati setiap detiknya. Caca tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menangis, tanpa suara, pasrah pada nasibnya.

Namun, air mata itu membakar kesadarannya. Rasa perih di bawah sana berubah menjadi pemicu, bukan kepasrahan. Caca mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, menolak takdir yang dipaksakan padanya.

Tiba-tiba, dengan sekuat tenaga, ia mendorong dada Bambang. Dorongan itu tidak terlalu kuat, namun cukup untuk mengagetkan pria itu. Napas Bambang tercekat, hentakannya terhenti. Matanya membulat, menatap wajah Caca yang kini dipenuhi air mata dan amarah.

“Berhenti!” ucap Caca, suaranya parau dan terperangkap di tenggorokan. “Hentikan ini! Aku tidak ingin!”

Caca kembali mendorong, kali ini dengan kedua kakinya, mencoba menendang selangkangan Bambang. Namun, Bambang dengan sigap menahan kaki Caca, memegangnya erat-erat. Jari-jari kasarnya mencengkeram pergelangan kaki Caca, membuat Caca menggeliat kesakitan.

“Kau sudah bangun, Nyonya Cantik?” ucap Bambang, suaranya serak dan dipenuhi kegembiraan. Ia menyeringai licik, menatap Caca yang berurai air mata. “Aku ingin kamu bangun. Aku ingin kamu merasakan ini bersamaku.”

Caca menggelengkan kepalanya dengan kuat, air matanya membasahi pipinya. Tangannya berusaha mendorong wajah Bambang, namun Bambang dengan mudah menahan tangan Caca, lalu ia membantingnya ke lantai dengan keras. Caca merintih kesakitan, namun ia tidak menyerah. Ia mencoba menarik-narik rambut Bambang, mencoba mencakar punggungnya.

“Ahhhhhh… yaaaaaa… ini… ini yang aku mau…” desah Bambang, suaranya berubah menjadi geraman. “Berontaklah, sayang… tunjukkan padaku betapa kamu menginginkannya…” Setiap kali Caca memberontak, desahan Bambang semakin keras. Setiap dorongan, setiap tarikan, setiap tendangan, justru menambah semangat Bambang. Sensasi perlawanan Caca, yang kontras dengan kelembutan memeknya yang basah, membuatnya semakin gila.

” Tidak! Aku tidak mau! ” batin Caca. Ia mencoba menggigit bibirnya, namun suara rintihannya tetap keluar. “Ahhh… ahhh…”

Bambang tidak melepaskan cengkeramannya. Ia membalikkan Caca, lalu ia mulai menyetubuhi Caca dari belakang. Caca mencoba merangkak, mencoba lari, namun tubuhnya terasa sangat berat. Bambang memegangnya erat-erat, dan ia terus menggenjot Caca tanpa henti. Desahannya semakin keras, dan napasnya memburu.

“Ahhhhh… ahhhhhh… yaaaaaaa…” desah Bambang, suaranya dipenuhi dengan gairah. Ia menunduk, mencium leher Caca, mencium aroma parfumnya yang memabukkan. “Kamu milikku, Nyonya Cantik… kamu milikku…” bisiknya, mengulangi kata-kata itu seperti sebuah mantra, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Bambang mendudukkan Caca di pangkuannya lagi, kali ini ia menyingkap jilbab Caca, menikmati pemandangan wajah Caca yang berurai air mata. Ia membalikkan Caca, lalu ia menyuruh Caca untuk berlutut. Ia menikmati pemandangan Caca yang berlutut, dengan tubuhnya yang telanjang, dan jilbabnya yang tergeletak di lantai. Ia memposisikan dirinya di belakang Caca, lalu ia memasukkan kontolnya ke dalam memek Caca. Caca menjerit kesakitan, namun suaranya teredam oleh tangan Bambang.

” Ya Tuhan, ini sangat sakit! ” batin Caca, merintih. ” Tolong hentikan… hentikan sekarang! “

Bambang menggenjot perlahan. Setiap gerakan disengaja, diiringi desahan berat. Ia menahan Caca, tidak membiarkannya bergerak sedikit pun. “Nikmatilah ini, Nyonya Cantik. Kita punya banyak waktu…” bisiknya dengan suara serak. Ia memutar kontolnya di dalam memek Caca, sebuah siksaan yang disengaja.

“Ah… ahh… yaaa…” desah Bambang, suaranya dipenuhi gairah. “Kau suka ini kan? Aku tahu kau suka…”

Air mata Caca terus mengalir deras, membasahi pipinya. Ia menggeliat kesakitan, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. ” Tidak… tolong… aku tidak mau… ” batinnya. Ia merasakan sensasi panas di dalam memeknya, sebuah siksaan yang ia tidak bisa hindari.

Bambang terus mempermainkan Caca, menikmati setiap detiknya, setiap sensasi yang ia rasakan. Ia menatap wajah Caca yang pucat dan berurai air mata, dan ia merasa sebagai raja.

” Aku tidak akan membiarkanmu pergi… kamu adalah milikku, ” batinnya, penuh dengan kemenangan.

Bambang menunduk, mencium leher Caca dengan dalam, menggigit kecil kulitnya. Ia beralih ke telinga Caca, membisikkan kata-kata kotor, kata-kata yang membuat Caca merasa jijik. Caca menggeliat, mencoba menolak, namun ia tidak bisa. Ia merasakan kontol Bambang yang perlahan bergerak, sebuah siksaan yang ia tidak bisa hindari.

” Ini adalah hukuman untukmu… karena telah membuatku menunggu begitu lama, ” batin Bambang. Ia terus mempermainkan Caca, menikmati setiap detiknya, setiap sensasi yang ia rasakan.

Seiring waktu berjalan, rasa perih itu perlahan memudar, digantikan oleh sensasi yang aneh. Memek Caca, yang telah lama tidur, mulai terbangun. Kehangatan kontol Bambang di dalamnya, gerakan yang disengaja itu, memicu sesuatu yang ia tak sadari masih ada. Air mata yang tadinya karena kengerian kini bercampur dengan air mata yang ia tak tahu maknanya. Isakan pelan keluar dari bibirnya yang digigit.

” Aku… aku tidak ingin ini… tapi kenapa… kenapa rasanya? ” batin Caca, pikirannya kacau.

Bambang menyadari perubahan itu. Hentakannya yang tadinya perlahan dan menyiksa kini menjadi lebih lembut, namun tetap dalam. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Caca, menghirup aroma keringat dan parfumnya.

” Kamu merasakannya… kan? Kamu menikmatinya, ” bisik Bambang di telinga Caca, suaranya penuh kemenangan.

Memek Caca mulai berdenyut, sebuah sensasi yang ia kenali namun telah lama ia lupakan. Ia merasakan otot-otot di dalamnya meremas kontol Bambang, bukan lagi karena perlawanan, tetapi karena respons alami tubuhnya. Jilbab yang masih membingkai kepalanya terasa ironis. Di satu sisi, ia adalah simbol kesucian yang ia anut. Di sisi lain, ia kini berada dalam posisi yang paling hina, menanggalkan segala batasan yang ia pegang teguh.

Hentakan Bambang menjadi lebih cepat dan teratur. Caca tidak lagi berontak. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan tubuhnya terbawa arus. Isakan berubah menjadi desahan tertahan, sebuah suara yang ia tidak pernah bayangkan bisa ia keluarkan.

“Ahh… oh… ahhh…” desahnya, saat gelombang kenikmatan mulai menjalar dari bawah sana ke seluruh tubuhnya.

Bambang tersenyum licik, menikmati setiap suara yang keluar dari bibir Caca. “Aku tahu kamu menyukainya, Nyonya Cantik…” bisiknya.

Gerakan Bambang semakin cepat, semakin kuat. Caca merasakan sensasi yang luar biasa, sebuah ledakan yang telah lama tertidur. Ia menjerit tertahan, suara isakan dan desahan bercampur menjadi satu. Air matanya mengalir deras, namun kini bukan lagi karena keputusasaan, melainkan karena klimaks yang tak terbendung.

“Ahhhhhhh… aku… ahhhhhh…” Caca menjerit. “Ya Tuhan… oh… ahhhhhhh…”

Tubuhnya menegang, punggungnya melengkung, dan ia merasakan gelombang demi gelombang kenikmatan membanjiri dirinya. Jilbabnya, yang tergeletak di lantai, terasa seperti saksi bisu dari pengkhianatan ini. Caca meraih kontol Bambang, meremasnya dengan kuat, seolah-olah ingin menahannya di sana selamanya.

Bambang menyadari klimaks Caca. Napasnya terhenti. Ia melihat wajah Caca yang kini penuh dengan air mata dan kenikmatan, sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gila. Ia menggenjot lebih cepat, lebih kuat, dan lebih dalam. Desahannya semakin keras, dan napasnya memburu. “Ohhh… Ya Tuhan… yaaa… di sini… lebih dalam… ahhh…” desah Bambang. “Kamu… kamu milikku… ahhh… ini… ini adalah surga… aahhh…” Ia mengerang, suaranya serak karena gairah. Ia terus menggenjot Caca dengan semangat. “Ahhh… Caca…” desah Bambang, suaranya semakin serak karena gairah. Ia terus menggenjot Caca, menikmati setiap detiknya. Bambang menjerit, sebuah geraman panjang dan berat yang memenuhi ruangan. Kontolnya terasa berdenyut di dalam memek Caca, dan ia merasakan ejakulasi yang luar biasa. Ia ambruk di atas Caca, napasnya terengah-engah, dan ia memejamkan mata.

Setelah beberapa saat, Bambang menarik kontolnya. Ia menatap wajah Caca yang masih terengah-engah, mata sayunya kini menatap kosong ke langit-langit. Perlahan, ia menarik Caca berdiri, dan dengan hati-hati, ia memakaikan kembali pakaian Caca. Gamis, celana, dan kaus kaki. Ia merapikan jilbab Caca, membingkai kembali wajah Caca yang pucat. Ia bahkan mencium pipi Caca dengan lembut, seolah tidak ada yang terjadi.

Caca tidak menolak. Ia hanya berdiri, membiarkan Bambang memakaikannya pakaian. Ia merasa seperti boneka yang tak bernyawa, tak ada lagi emosi yang tersisa di dalam dirinya. Pakaian syar’i yang ia kenakan kini terasa seperti kulit kedua, menyembunyikan segala kengerian yang baru saja terjadi.

Bambang kemudian menuntun Caca keluar dari lorong servis. Ia membukakan pintu untuknya, dan mengantarkannya ke pintu keluar mal. Caca berjalan dengan langkah yang berat, kakinya terasa lemas. Kepalanya masih terasa pusing, dan memeknya terasa perih. Ia masuk ke dalam mobilnya, lalu mengendarainya pulang, tanpa menoleh ke belakang.

Di dalam mobil, Caca menatap bayangan dirinya di kaca spion. Wajahnya yang pucat dan mata sayu, terbingkai oleh jilbab syar’i yang rapi. Namun, di dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang telah hancur. Ia tahu ia telah menanggalkan kehormatannya, dan ia tahu ia tidak bisa kembali ke sosok Caca yang dulu. Ia hanya bisa menangis, tanpa suara, pasrah pada takdirnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, atau bagaimana ia harus menjalani hidupnya setelah ini. Ia hanya tahu, ia tidak lagi suci.

Reviews

0 %

User Score

0 ratings
Rate This

Sharing

Leave your comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *