Tukang Kebunku

Author Avatar

RajaBokeps

Joined: Mar 2025
Bagikan Video Bokep Ini

Cerita Seks Perselingkuhan Terbaru

Rumah kayu di pinggir kota itu selalu diselimuti aroma tanah basah bercampur wangi melati dari kebun yang terawat sempurna. Irma, dengan balutan daster longgar yang menutupi lekuk tubuhnya yang subur, menghela napas panjang di ambang pintu dapur. Payudaranya yang besar dan montok sedikit bergoyang setiap kali ia bergerak, namun gerakan itu terasa hampa. Sudah terlalu lama kesunyian menghuni kamar tidur mereka, hanya bunyi AC yang berdesis menemani malam-malamnya.
Rudi, suaminya, baru saja pulang dari kantor, tubuhnya tegap namun tampak ringkih karena kelelahan. Sepuluh sentimeter miliknya terasa dingin, bahkan dalam mimpi.
“Sudah makan, Irma?” suara Rudi datar, matanya sudah setengah terpejam bahkan sebelum ia sempat melepas sepatu kerjanya.
Irma membalikkan badan, pinggul rampingnya bergerak kontras dengan bokong padatnya yang memantul di balik kain tipis. “Baru saja selesai. Kamu kelihatan lelah sekali, Mas.”
“Kerjaan menumpuk. Bos baru, tuntutan tinggi,” Rudi mengusap tengkuknya. “Malam ini aku tidur duluan, ya.”
Satu kalimat yang selalu sama, menusuk langsung ke inti kekecewaan Irma. Jenuh. Rasa jenuh itu mengkristal menjadi kebutuhan yang mendesak. Ia ingin disentuh, ingin diisi, ingin mendengar suara napas berat yang bukan berasal dari kantuknya sendiri.
“Tapi Mas…” Irma memulai, suaranya sedikit bergetar.
Rudi sudah setengah jalan menuju kamar tidur. “Besok saja, Sayang. Besok.” Pintu kamar tertutup dengan bunyi ‘klik’ pelan yang terasa seperti palu godam menghantam harapan.
Irma berdiri terpaku. Ia menatap pintu itu, lalu pandangannya beralih ke halaman belakang, tempat Burhan, tukang kebun mereka, sedang membereskan peralatan. Burhan. Pria paruh baya itu, mantan tentara yang pensiun, selalu bergerak dengan efisiensi tanpa emosi. Wajahnya keras, namun matanya—mata itu berbeda. Mata itu selalu mengamati, seolah memindai setiap inci ruang gerak Irma.
Beberapa hari kemudian, udara dingin menusuk tulang. Irma menggigil hebat di kursi ruang tengah. Masuk angin, pikirnya.
“Mas, badanku rasanya dingin sekali,” Irma mendekati Rudi yang sedang membaca berkas di meja makan.
Rudi melirik sekilas, tatapannya masih tertuju pada angka-angka di kertas. “Sudah minum teh jahe?”
“Sudah. Tapi ini sampai ke tulang.”
Rudi mendesah, menutup berkasnya. “Aku juga pernah begini. Ingat, dulu aku minta diurut Burhan?”
Irma mengerutkan kening. “Burhan? Tukang kebun?”
“Iya. Dia itu mantap urutannya. Tenaga kuda, bekas tentara. Jangan malu, dia sudah lama kerja di sini. Dia juga sering mijit punggungku kalau aku pegal,” Rudi meyakinkan. “Coba panggil dia. Bilang saja masuk angin parah.”
Irma ragu. Membiarkan Burhan menyentuh kulitnya, menyentuh punggungnya yang menaungi payudara besar itu? Namun, desakan rasa dingin dan janji kehangatan yang bisa ia dapatkan dari sentuhan terampil membuat keraguannya luntur.
“Baiklah, Mas. Aku panggil dia.”
Tak lama kemudian, Burhan berdiri di ambang pintu kamar tidur. Ia mengenakan kaus oblong lusuh dan celana komprang yang penuh noda tanah. Posturnya tegap, aura militeristiknya masih terasa meski ia hanya memegang sebilah sabit.
“Panggil saya, Nyonya?” Suaranya berat, rendah, seperti gerusan batu.
Irma menunjuk kasur. “Saya masuk angin, Mas Burhan. Mas Rudi bilang kamu bisa bantu mengurut.”
Burhan mengangguk sekali. Tidak ada senyum, hanya tatapan lurus yang menyapu sosok Irma dari ujung kaki hingga rambutnya yang tertutup jilbab. Ia melangkah masuk, aroma tanah dan keringat samar tercium.
“Lepas pakaiannya, Nyonya. Biar enak urutnya.”
Jantung Irma berdebar kencang. Ia melepas daster, hanya menyisakan pakaian dalam tipis. Payudaranya yang padat dan bulat tampak menantang di bawah cahaya lampu kamar yang temaram. Burhan memperhatikan, matanya sedikit menyipit, namun ekspresi wajahnya tetap datar. Ia menyingkirkan jilbab Irma dengan gerakan tangan yang cepat dan tanpa basa-basi. Rambut hitam Irma terurai menutupi bahu.
“Tengkurap, Nyonya.”
Irma menurut, wajahnya menempel di bantal. Ia bisa merasakan tatapan Burhan membakar punggungnya.
Burhan menuang minyak urut hangat ke telapak tangannya yang kasar. Jemarinya yang panjang dan kuat mulai bekerja di punggung atas Irma. Awalnya, sentuhannya terukur, profesional. Ia menekan tulang belikat, mengurai ketegangan di leher.
“Nyonya tegang sekali,” Burhan berkomentar, suaranya tanpa emosi.
“Sudah lama tidak rileks, Mas Burhan,” Irma bergumam dari balik bantal.
Rudi sudah pergi ke kantor pagi buta, membawa serta berkas-berkas penting yang harus ia selesaikan. Ia meninggalkan janji akan pulang larut malam.
Tangan Burhan bergerak turun. Setiap tekanan terasa lebih dalam, lebih menekan. Ketika tangannya mencapai area pinggang, di mana tulang pinggul ramping Irma bertemu dengan bokongnya yang padat, sentuhan itu berubah. Jemarinya tidak lagi sekadar mengurai otot; mereka mulai mengelus, menelusuri lekuk bokong itu dengan tekanan yang disengaja.
Irma menahan napas. Panas menjalar di kulitnya, bukan karena minyak urut, melainkan karena rasa asing yang membangkitkan sesuatu yang lama tertidur.
“Di sini, Nyonya. Sering sakit?” Burhan menekan keras tepat di lekukan bokong kiri Irma, jari-jarinya sedikit menyentuh tepi celana dalam.
“I-iya… sedikit,” Irma berhasil menjawab, suaranya tercekat.
Burhan tidak menjawab. Ia memindahkan tangannya ke bagian bawah punggung, tepat di atas celana dalam. Jemarinya mulai menggesek kain tipis yang membatasi kulitnya dari hasrat yang tiba-tiba menggelegak dalam diri pria itu. Ia tahu betul apa yang ia lakukan. Sudah berbulan-bulan ia mengintip dari celah jendela kamar mandi saat Irma mandi, melihat lekuk tubuh sang Nyonya yang begitu menggoda, kontras dengan kesalehan luarnya.
Tekanan pada bokong semakin intens. Burhan memiringkan tubuhnya sedikit, lututnya menekan kasur di samping pinggul Irma. Ia mulai menggerakkan tangannya ke bawah, ibu jarinya menyelip di antara karet celana dalam dan kulit paha bagian dalam Irma.
“Mas Burhan, itu…” Irma mencoba protes, namun suaranya terdengar lemah, lebih seperti desahan tertahan.
“Ini bagian dari urut linu panggul, Nyonya. Harus rileks,” Burhan menjawab dengan nada dingin, seolah sedang membahas cuaca.
Jemari kasar itu berhasil menarik karet celana dalam Irma sedikit ke bawah, merasakan kehangatan lembap di sana. Irma menggeliat pelan. Rasa geli bercampur gairah membanjiri dirinya. Sudah hampir setahun ia mendambakan sentuhan yang lebih dari sekadar pelukan lelah Rudi.
Burhan menarik celana dalam Irma ke samping, membuka jalan bagi jemarinya yang nakal. Udara kamar terasa tiba-tiba panas.
“Astaga…” Irma terkesiap saat jemari Burhan menyentuh area sensitifnya yang sudah basah oleh hasrat yang tak terduga.
“Lembap sekali,” Burhan bergumam pelan, lebih untuk dirinya sendiri. Ia mulai menggosok lembut klitoris Irma yang sudah menegang.
Irma tidak bisa menahan diri. Ia memejamkan mata rapat-rapat. Tubuhnya merespons secara naluriah. Ia merasakan desahan kecil lolos dari bibirnya.
“Jangan ditahan, Nyonya. Keluarkan saja,” Burhan mendikte, suaranya kini lebih dalam, lebih menguasai.
Jemari Burhan bergerak lebih cepat, menekan, membelai, memutar. Irma merasakan gelombang kenikmatan yang sudah lama hilang menyeruak. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba meredam suara yang ingin keluar.
“Ayo, Nyonya. Biarkan saya bantu.”
Burhan memiringkan tubuhnya lebih jauh, menggunakan seluruh kekuatan tangan dan tubuhnya untuk memposisikan diri. Ia memasukkan satu jari telunjuknya ke dalam lubang vagina Irma yang sudah terbuka lebar.
“Agh!” Irma tersentak kaget, namun sentuhan itu begitu pas, begitu dalam.
Jari itu bergerak masuk, mencari titik sensitif. Burhan mulai mengocok dinding dalam vagina Irma, gerakannya ritmis, kuat. Irma mulai terbuai, tubuhnya melengkung ke atas, bokong padatnya terangkat dari kasur, mencari gesekan lebih lanjut.
“Ya… Mas Burhan… terus…” desis Irma, kehilangan semua kendali atas kata-katanya.
Burhan mempercepat ritmenya. Ia menusukkan jari keduanya, memuaskan rongga Irma yang kini terasa sangat basah dan hangat. Ia mengocok dengan kuat, dua jari bergerak seperti piston di dalam sana.
“Nyonya akan datang…” Burhan memberitahu, nadanya seperti seorang komandan yang memprediksi serangan.
Dan benar saja. Dalam beberapa hentakan cepat dan dalam, tubuh Irma menegang hebat. Gelombang kenikmatan menjalar dari pusatnya ke seluruh anggota tubuh.
“Aaaaaahhhh! Ya Tuhan!” Suara erangan panjang dan keras keluar dari mulut Irma. Ia orgasme, tubuhnya bergetar hebat di atas kasur.
Ketika getaran itu mulai mereda, Burhan berhenti sebentar, jemarinya masih terbenam di dalam. Ia menarik napas dalam-dalam, mengambil jeda yang sangat singkat.
Ia bangkit sedikit, lalu dengan gerakan yang sama sekali tidak terduga, Burhan menarik celana komprangnya ke bawah. Bau maskulin yang tajam menyeruak. Kontolnya yang besar, tebal, dan panjang menyembul keluar, kulitnya gelap dan keras, kepala penisnya merah muda dan mengkilap karena cairan pelumas alaminya. Panjangnya tampak jauh melebihi bayangan yang pernah Irma lihat pada Rudi.
“Sudah puas dengan jari saya, Nyonya?” Burhan bertanya, suaranya kini dipenuhi seringai kemenangan yang hanya terlihat dari kilatan matanya.
Irma, masih terengah-engah, menatap benda keras di hadapannya. Syok menyelimuti gelombang kenikmatan tadi.
“Mas… apa ini?”
“Ini hadiahnya. Sekarang giliranmu membalas budi. Buka mulutmu lebar-lebar.” Burhan tidak memberi kesempatan Irma untuk menolak.
Ia meraih kepala Irma, menariknya lembut namun tegas ke arah kejantanannya. Irma, dalam keadaan setengah sadar karena orgasme dan rasa penasaran yang bercampur takut, membuka mulutnya sedikit.
“Tidak hanya menyentuh, Nyonya. Telan.”
Burhan mendorong maju. Kepala penisnya yang besar itu menghantam bibir Irma, memaksa mulutnya terbuka lebih lebar. Irma hanya bisa membuka mulutnya selebar yang ia mampu.
“Tarik ke dalam, Nyonya!” Burhan memerintah.
Irma mencoba menuruti, namun ukuran itu sungguh luar biasa. Ia menariknya sedikit, namun Burhan tidak sabar. Dengan satu dorongan kuat, Burhan mendorong seluruh batang penisnya masuk ke dalam mulut Irma.
“Urrgh…!” Irma tercekik. Lehernya menegang karena dorongan mendadak itu. Kepala penis Burhan menekan jauh ke belakang, menyentuh pangkal lidahnya, memicu refleks muntah yang ia tahan sekuat tenaga.
“Jangan melawan! Telan semuanya!” Burhan mencengkeram tengkuk Irma, tangannya yang lain menahan dagu Irma agar mulutnya tetap terbuka.
Irma mulai menelan paksa, air liurnya bercampur dengan cairan pre-cum yang menggenang di kepala penis itu. Ia berusaha menggerakkan lidahnya, namun Burhan mengendalikan ritme. Ia menggerakkan kontolnya maju mundur, memenetrasi tenggorokan Irma dengan brutal.
“Hngh! Hngh! Ya! Dalam!” Burhan mendesah berat, menikmati sensasi kekenyalan tenggorokan Irma yang menelannya hingga pangkal.
Irma merasakan dorongan yang sangat dalam, seolah penis itu mencapai tulang dadanya. Matanya berair karena tekanan dan rasa sesak yang luar biasa. Ia hanya bisa mengeluarkan suara ‘ngh’ teredam.
Burhan mencapai puncaknya dengan cepat, didorong oleh kepuasan melihat kepasrahan total Irma.
“Aku akan semburkan di dalammu, Nyonya!”
Dengan satu dorongan terakhir yang sangat dalam, Burhan memompa. Semen panas menyembur deras, memenuhi rongga mulut Irma. Irma menelan, refleks menelan mengambil alih saat Burhan menariknya keluar perlahan. Cairan kental itu terasa hangat dan asin di lidahnya.
Burhan menarik diri, membersihkan sedikit sisa di pangkal penisnya dengan ibu jarinya, lalu tersenyum tipis. Senyum pertama yang Irma lihat—senyum predator.
“Selesai urutnya.”
Irma terbatuk-batuk, berusaha menormalkan pernapasannya. Ia duduk, menatap Burhan dengan mata liar.
“Mas Burhan… apa yang barusan…”
“Jangan khawatir. Mas Rudi tidak akan tahu. Dia terlalu sibuk dengan kertas-kertasnya,” Burhan menyela. Ia menyambar pakaiannya dan mulai mengenakannya dengan cepat.
Ia mencondongkan tubuhnya ke telinga Irma yang masih terbaring setengah telanjang. “Kalau Nyonya ingin rasa yang lebih nikmat, besok minta lagi saya mengurut. Pastikan Mas Rudi tidak ada di rumah saat itu.”
Burhan keluar dari kamar secepat ia masuk, meninggalkan Irma yang tubuhnya masih bergetar hebat, namun anehnya, perutnya terasa hangat dan puas. Rasa jenuhnya telah tergantikan oleh ketegangan yang memabukkan.
***
Keesokan paginya, Irma menunggu Rudi sarapan dengan hati yang berdebar.
“Mas Rudi,” Irma memulai, memegang erat cangkir tehnya.
“Ya?” Rudi tampak lebih segar setelah tidur nyenyak.
“Penyakit masuk angin saya… rasanya belum hilang betul. Masih ada sisa-sisa dingin di pinggang.” Irma berakting dengan meyakinkan, suaranya sedikit dibuat lemah.
Rudi mengernyit. “Oh, benarkah? Padahal semalam kamu kelihatan sudah lebih baik.”
“Iya, Mas. Mungkin urutan pertama kurang tuntas. Saya minta Mas Burhan datang lagi hari ini, ya? Sekalian mumpung Mas harus ke kantor.”
Rudi berpikir sejenak. Burhan memang tukang urut yang handal. “Ya sudah. Panggil saja dia. Tapi jangan lama-lama, nanti kamu kecapekan.”
“Tentu, Mas.” Irma tersenyum penuh arti yang tidak ditangkap Rudi.
Saat Rudi berpamitan menuju kantor, mengendarai motor tuanya, Irma langsung memanggil Burhan.
“Mas Burhan! Mas Burhan!”
Burhan sudah ada di halaman, sedang memangkas semak mawar. Ia menoleh, tatapannya langsung mengunci Irma yang kini hanya mengenakan daster tipis di ambang pintu.
“Sudah siap, Nyonya?”
“Mas Rudi sudah pergi. Saya minta diurut lagi. Kali ini… lebih lama.” Irma sengaja menekankan kata ‘lebih lama’.
Burhan membuang ranting yang ia pegang. “Di kamar, Nyonya. Saya akan pastikan tidak ada yang mengganggu.”
Irma masuk ke kamar, menutup pintu, dan menguncinya. Ia melepas daster itu, membiarkan payudaranya yang besar bergoyang bebas. Ia berbalik, membelakangi pintu, memposisikan diri di tepi kasur, siap menanti.
Burhan masuk, menutup pintu dengan hati-hati. Ia tidak lagi berpura-pura. Matanya menyala oleh nafsu yang terpendam.
“Kali ini, kita tidak buang waktu dengan urut biasa, Nyonya,” Burhan berbisik, suaranya serak.
“Saya tahu, Mas Burhan. Saya mau… yang kemarin itu lagi.” Irma mengakui kebutuhannya tanpa malu.
Burhan tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang agak kuning. Ia melepaskan seragam kerjanya, memperlihatkan otot-otot lengannya yang keras. Kontolnya yang besar sudah menegang sempurna, menuntut perhatian.
“Tengkurap dulu.”
Irma menunduk. Ia membiarkan Burhan menyentuhnya lagi. Kali ini, tidak ada basa-basi. Burhan menuang minyak urut dalam jumlah banyak, memijat pinggul Irma dengan tangan yang lebih kasar, lebih posesif.
“Bokong Nyonya padat sekali,” Burhan mendengus, tangannya mencengkeram kuat daging pantat Irma. Ia memukul pantat itu dua kali, suara ‘plak’ terdengar keras di ruangan sunyi itu.
“Aduh!”
“Itu baru pemanasan,” Burhan menyahut. Ia menarik celana dalam Irma ke bawah hingga terlepas, membiarkan vagina Irma yang sudah basah kuyup terpapar udara.
Burhan tidak menggunakan jari. Ia menjilat bibir bawahnya, lalu menunduk. Lidahnya yang tebal langsung menyapu klitoris Irma.
“Mmmph! Mas Burhan!” Irma terkejut dengan kebrutalan lidah itu.
Burhan menjilat dengan rakus, lidahnya bergerak cepat dan dalam, mencari sensitivitas tertinggi. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menahan pinggul Irma agar tidak bergerak liar, sementara mulutnya bekerja dengan efisiensi seorang predator.
Irma mulai melengkung, napasnya memburu. “Lebih… lebih dalam…”
Burhan mengangkat kepalanya. Ia melihat Irma benar-benar basah, matanya terpejam dalam kenikmatan yang hampir menyakitkan.
“Tidak secepat kemarin. Kita nikmati dulu,” kata Burhan.
Ia bangkit, membalik tubuh Irma dengan kasar hingga Irma telentang. Payudara besar Irma terangkat ke udara, putingnya mengeras. Burhan menunduk, mulutnya menyambar salah satu payudara itu.
“Ngh! Ahhh!” Irma menjerit kecil saat Burhan menyedot putingnya dengan kuat, giginya menggesek lembut. Burhan menyusuinya dengan rakus, bergantian antara payudara kanan dan kiri, sementara tangan satunya sibuk menjelajahi antara kedua pahanya yang terbuka.
“Saya ingin merasakanmu, Nyonya. Semuanya,” Burhan menyela sesi menyusui, lalu ia mengarahkan penisnya yang tegang ke antara paha Irma.
“Saya ingin menenggakmu dulu, seperti kemarin.”
Irma mengangguk cepat, napasnya masih terengah-engah. “Ya, Mas. Lakukan.”
Burhan mendorong kepalanya masuk ke mulut Irma. Kali ini, Irma lebih siap. Ia membuka mulutnya lebih lebar, lidahnya menyambut. Ia menarik penis itu dengan kemauan yang lebih besar, menelan setiap senti dari batang yang keras itu.
Burhan mendorong tenggorokannya dengan keras, memuaskan dirinya dengan sensasi yang ia cari. Ia memukul kepala Irma pelan dengan pangkal penisnya saat ia masuk dan keluar dengan ritme yang cepat.
“Hnnngg! Telan! Telan semua!”
Irma menelan setiap tetesnya, menahan refleks muntah dengan fokus total pada kenikmatan yang diberikan. Ketika Burhan merasakan dirinya hampir sampai, ia menarik kepalanya keluar dari mulut Irma.
“Sekarang, lubangmu,” perintah Burhan.
Irma memiringkan tubuhnya ke posisi menyamping. Burhan menempatkan dirinya di belakang Irma yang sedang berlutut di tepi kasur, posisi menungging.
“Tahan lehermu,” Burhan berkata, suaranya menjadi perintah militer.
Tangan Burhan mencengkeram leher Irma, ibu jarinya menekan arteri karotis dengan tekanan yang membuat Irma sedikit pusing.
“Jangan bergerak, Nyonya. Saya harus cepat.”
Burhan menyodorkan ujung penisnya ke lubang vagina Irma yang sudah sangat licin. Ia tidak menunggu. Dengan satu hentakan kuat, kontol 17 cm itu masuk seluruhnya, menyebabkan Irma terkesiap.
“Aaaakkhh!”
“Tahan!” Burhan berteriak, mencengkeram leher Irma semakin erat, mencekik sedikit untuk mengontrol napas Irma.
Irma merasakan tekanan di tenggorokannya dan tekanan luar biasa di vaginanya secara bersamaan. Ia menggigit bibirnya, berusaha tidak berteriak terlalu keras. Vagina Irma terasa sangat ketat, seolah memeluk erat batang penis Burhan.
“Ugh! Kau menggigitku, Nyonya! Bagus!” Burhan mendesis, menikmati sensasi ‘gigitan’ dari otot-otot dalam Irma.
Burhan mulai bergerak. Ia mendorong masuk dan menarik keluar dengan gerakan yang sangat kuat, hampir seperti menghantam kasur. Setiap dorongan disertai dengan cekikan ringan di leher Irma.
“Hngh! Hngh! Aku datang!”
Irma merasakan dirinya terhanyut dalam sensasi ganda: sesak napas yang memicu adrenalin dan tekanan penuh di pusat kenikmatannya. Ia orgasme lagi, kali ini lebih liar, karena rasa tercekik membuatnya lebih fokus pada sensasi di bawah.
“Datang, Nyonya! Datang!” Burhan menggeram.
Saat Irma mencapai klimaks keduanya, Burhan mendorongnya hingga ujung, memompa seluruh isi perutnya ke dalam rahim Irma.
“Semuanya untukmu, Nyonya!”
Burhan menarik diri, meninggalkan Irma yang terengah-engah, lehernya merah bekas cekikan, dan vagina yang terasa penuh dan hangat.
“Itu baru permulaan,” Burhan berbisik, mengambil handuk kecil untuk membersihkan diri. “Besok pagi, saat Mas Rudi berangkat, saya akan datang lagi. Dan kita akan mencoba posisi baru.”
***
Keesokan harinya, Burhan tiba tepat setelah motor Rudi menghilang di tikungan jalan. Rudi meninggalkan rumah dengan keyakinan bahwa istrinya sedang beristirahat akibat sakit.
Burhan masuk tanpa mengetuk. Irma sudah menunggu di dapur, mengenakan daster biru muda. Ia sedang pura-pura menyiapkan sarapan.
“Pagi, Mas Burhan,” sapa Irma, suaranya tenang.
“Pagi, Nyonya. Mana tempatnya?”
“Dapur dulu, Mas. Saya ingin lihat bagaimana rasanya.”
Burhan menyukai tantangan. Ia tidak pernah menyukai kelembutan. “Baik. Menghadap dinding.”
Irma membalikkan badan, tangannya menempel di meja dapur yang dingin. Burhan menarik daster Irma ke atas kepalanya, memperlihatkan bokongnya yang montok dan membulat.
Tanpa basa-basi, Burhan meraih pinggul Irma dan menariknya ke belakang. Ia menempelkan penisnya yang sudah siap di lubang vagina Irma.
“Kali ini, saya akan menggunakanmu saat kau sedang melayani suamimu,” ujar Burhan dingin.
Ia mendorong masuk dengan brutal. “Hngh!” Irma meringis, namun ia menekan bibirnya, tidak ingin ada suara keras yang terdengar sampai ke luar rumah.
Burhan mulai menyodok dengan kecepatan yang gila. *Sluuurp! Sluuurp!* Suara daging bertemu daging terdengar jelas di dapur yang sepi itu. Burhan mencengkeram pinggul Irma erat, memaksa setiap dorongan mencapai kedalaman maksimal.
“Kau milikku saat suamimu tidak di sini!” Burhan meraung pelan, kepalanya menempel di punggung Irma.
Irma merasa seperti ditarik dan didorong tanpa ampun. Ia orgasme lagi, cepat dan kuat, karena rasa sakit yang bercampur kenikmatan.
Setelah klimaks pertama, Burhan menariknya sedikit, lalu membalikkan tubuh Irma hingga Irma menghadapnya, masih berdiri.
“Sekarang, mulutmu. Saya ingin kau menenggak habis apa yang saya berikan.”
Irma segera berlutut di lantai dapur yang dingin. Ia membuka mulutnya, dan Burhan mengarahkan kejantanannya tepat ke sana. Kali ini, Burhan tidak hanya mendorong masuk. Ia memegang kepala Irma dengan satu tangan, dan dengan tangan lainnya, ia mencengkeram tengkuk Irma, menarik kepalanya ke bawah sambil mendorong penisnya masuk ke tenggorokan Irma dengan kekuatan penuh.
“Ngh! Uuugh! Hhh!” Irma tercekik, air mata menggenang.
Burhan mendorongnya dalam-dalam, hingga seluruh batang penisnya hilang di balik pita suara Irma. Ia memompa dengan gerakan yang sangat dalam, seolah ingin mengisi setiap ruang kosong di leher Irma dengan spermanya.
“Ini tanda kepemilikan, Nyonya! Kau akan membawa milikku!”
Burhan menyemprotkan cairan putih kentalnya ke dalam tenggorokan Irma. Cairan itu panas, banyak sekali. Irma menelan semuanya, matanya memohon ampun namun tubuhnya tak bisa berhenti menelan.
Ketika Burhan selesai, ia menarik diri, menyisakan jejak putih di sudut bibir Irma.
“Sekarang, habiskan sarapanmu. Dan ingat, kamu milikku di siang hari.”
Irma membersihkan mulutnya dengan punggung tangan, lalu kembali ke kompor, memasak nasi. Ia tidak lagi merasa bersalah. Ia merasa hidup.
***
Hari ketiga, Rudi kembali bekerja. Burhan masuk rumah. Ia menemukan Irma di kamar mandi, air masih mengalir.
“Nyonya, saya dengar suara air. Mari kita mulai di sini.”
Irma keluar, hanya berbalut handuk putih yang menutupi payudaranya. “Mas Burhan, saya baru selesai mandi.”
“Bagus. Saya suka melihatmu basah.”
Burhan mendorong Irma ke dinding kamar mandi yang dingin dan berubin. Ia merobek handuk itu dari tubuh Irma. Payudara besar Irma terpantul di cermin yang berembun.
“Saya tidak akan membiarkanmu mencuci diri sampai bersih hari ini.”
Burhan menyambar penisnya yang sudah menegang. Ia mengarahkan kepala penisnya ke mulut Irma.
“Buka.”
Irma membuka mulutnya. Burhan mendorong masuk dengan brutal, kali ini lebih cepat dan lebih dalam dari sebelumnya. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menekan kepala Irma ke bawah, memastikan penisnya masuk hingga ke tenggorokan terdalam.
“Hngh! Hngh! Ya! Dalam!”
Burhan menggerakkan penisnya maju mundur di tenggorokan Irma seperti mesin. Setelah beberapa saat, ia menariknya keluar sedikit, lalu mengarahkannya ke vagina Irma yang kini berair karena kelembapan kamar mandi.
“Giliran lubangmu. Saya ingin merasakanmu saat kau masih basah karena mulut saya.”
Burhan mendorong masuk ke vagina Irma tanpa peringatan. Irma terkejut dengan sensasi ganda itu.
“Aaaah! Mas Burhan!”
Burhan tidak membiarkan Irma beradaptasi. Ia menggerakkan penisnya dengan kecepatan tinggi, mencengkeram pinggul Irma dengan erat. Ia menyandarkan tubuhnya ke tubuh Irma, menekan payudara besar Irma ke dinding.
“Kau milikku, Irma!”
Irma orgasme saat Burhan memompa dengan keras. Kali ini, Burhan tidak menahan diri. Ia mengerang keras, memompa spermanya dalam-dalam ke dalam rahim Irma, beberapa tetes tercecer di bibir luar vagina Irma.
Setelah selesai, Burhan menarik diri, membiarkan Irma tergelincir ke lantai kamar mandi yang basah.
“Bersihkan dirimu. Tapi jangan terlalu bersih.”
***
Permainan terus berlanjut. Setiap hari Rudi berangkat, Burhan datang. Mereka mengeksplorasi setiap sudut rumah kayu itu.
Suatu sore, Rudi pulang lebih awal karena ada masalah teknis di kantornya. Ia mendapati rumah terkunci dari dalam.
“Irma? Kamu di mana?” Rudi mengetuk pintu depan. Tidak ada jawaban.
Rudi mencoba pintu belakang. Terbuka sedikit. Ia menyelinap masuk, hatinya mulai tidak enak. Bau minyak urut yang kuat bercampur aroma lain yang asing tercium di udara.
Ia berjalan ke kamar tidur. Pintu kamar mandi terbuka.
Di sana, ia melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Irma, tanpa busana, sedang berlutut di depan Burhan. Burhan sedang menyodok mulut Irma dengan penisnya yang besar. Kepala Irma didorong kuat ke bawah oleh tangan Burhan, sementara Burhan mencondongkan tubuhnya, menikmati setiap jengkal yang ditelan istrinya.
“HNNNNGGHH! TEELLAAANNN!”
Rudi membeku. Rasa kaget dan marah bercampur dengan kejutan aneh. Ia berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan pemandangan yang seharusnya menghancurkannya.
Burhan menyadari kehadiran Rudi, namun ia tidak berhenti. Ia hanya menoleh sekilas, matanya menantang.
“Lihat saja, Tuan Rudi! Lihat istrimu ini!”
Rudi tidak bersuara, hanya menatap dengan mata melotot.
Setelah Burhan menyemprotkan spermanya ke tenggorokan Irma, ia menariknya berdiri. Irma terhuyung, mulutnya penuh cairan putih.
“Sekarang, ke lubang pantatmu!” Burhan membentak Irma, menariknya ke arah Burhan.
“Ayo sini, aku ingin menggunakan lubang pantatmu!” perintah Burhan keras.
Rudi terkejut mendengar kata-kata itu. Irma selalu menolak jika Rudi mencoba menyentuh bagian belakangnya, bahkan hanya dengan sentuhan ringan. Namun, di hadapan Burhan, Irma menurut.
Irma berbalik, menungging di depan Burhan. Punggungnya yang menggoda terpampang.
“Tuhan, kau akan menerimanya!” Burhan mencengkeram pinggul Irma dengan tangan yang kasar.
Rudi menyaksikan dengan napas tertahan. Ia melihat Burhan mengolesi lubang anus Irma yang rapat dengan minyak.
“Jangan sakit! Jangan sakit!” Irma memohon, suaranya gemetar.
“DIAM!” Burhan membentak. Ia tidak mendengarkan. Ia mendorong keras. Penisnya yang besar menekan tepi lubang anus Irma.
“Ugh! SAKIT! Mas Burhan!”
“HNGH! DIAM!”
Burhan terus menyodok, memaksa masuk. Beberapa saat kemudian, desahan nikmat mulai menggantikan rintihan sakit Irma. Otot-ototnya yang tegang mulai rileks, terbiasa dengan rasa sakit yang diikuti kenikmatan brutal.
“Ah… Ah… Nikmat…” Irma mendesah, tubuhnya mulai bergoyang mengikuti ritme Burhan.
Rudi, entah karena rasa malu, cemburu, atau dorongan aneh yang terpendam, merasakan sesuatu yang panas di selangkangannya. Ia mundur perlahan dari pintu, pura-pura tidak melihat apa-apa.
Setelah beberapa menit, Burhan mengeluarkan penisnya dari anus Irma dengan suara ‘plop’ basah. Ia menyemprotkan spermanya ke dalam lubang pantat itu.
Kemudian, Burhan dengan cepat mengenakan pakaiannya.
Rudi, yang sudah kembali ke depan rumah, mengklakson motornya dua kali, suara klakson yang khas.
Irma dan Burhan panik. Mereka buru-buru merapikan diri. Irma meraih dasternya, memakainya terbalik, rambutnya acak-acakan, lipstik yang ia pakai semalam masih sedikit luntur.
Irma membuka pintu depan, menyambut Rudi dengan senyum lebar yang dipaksakan.
“Mas! Sudah pulang?”
Rudi hanya menatapnya sekilas, matanya tajam namun ekspresinya datar. “Ya. Ada apa dengan rambutmu, Irma?”
“Oh, ini… tadi saya baru menyiram bunga di kebun, Mas. Anginnya kencang sekali,” Irma berbohong, tangannya menyentuh tengkuknya yang masih memerah bekas cekikan.
Rudi mengangguk, berjalan melewati Irma menuju kamar. Ia tidak melihat Burhan yang sudah berjalan keluar dari pintu belakang, kembali ke pos jaga kecilnya di ujung kebun.
***
Malam itu, ketika Rudi dan Irma berbaring di tempat tidur, sesuatu yang aneh terjadi. Rudi menyingkirkan selimutnya.
“Irma, sini.”
Irma mendekat. Rudi membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya menghadap Irma.
“Urut punggungku. Seperti yang kau minta pada Burhan.”
Irma terkejut, namun cepat sadar. Ini kesempatannya. Ia mulai memijat punggung Rudi. Jemarinya yang sudah terbiasa dengan sentuhan kasar Burhan kini bekerja dengan keyakinan baru. Ia menekan keras, mengingat bagaimana Burhan memijatnya.
“Lebih keras, Irma. Aku ingin sakit, tapi nikmat.”
Irma tersenyum dalam gelap. Ia menekan pinggang Rudi, lalu naik ke area bokong. Ia mencubit daging padat itu dengan kuat.
“Aduh! Irma! Apa-apaan itu?” Rudi terkesiap.
“Maaf, Mas. Saya hanya mencoba teknik baru. Mas Burhan bilang, tekanan keras itu bagus untuk melancarkan peredaran darah.”
Rudi terdiam sejenak. Rasa sakit yang ia rasakan aneh. Itu menyengat, namun perlahan rasa itu berubah menjadi sensasi yang asing dan menyenangkan.
“Lanjutkan,” gumam Rudi.
Malam itu, Rudi menikmati sentuhan Irma yang tiba-tiba menjadi sangat terampil dan berani. Ia tidak meminta Rudi bercinta, tetapi sentuhan itu sudah cukup untuk memicu imajinasi liarnya.
***
Keesokan harinya, Rudi memanggil Burhan ke teras belakang saat ia sedang menyiram tanaman.
“Burhan, kemari sebentar.”
Burhan berjalan mendekat, wajahnya seperti biasa, tanpa ekspresi.
“Ada apa, Tuan Rudi?”
Rudi menatap lurus ke mata Burhan. “Aku tahu apa yang kau lakukan pada istriku.”
Burhan tidak gentar. Ia hanya mengangkat bahu. “Saya hanya melakukan tugas saya sebagai tukang urut, Tuan.”
“Jangan bohongi aku! Aku melihatnya kemarin! Aku mendengar suara motor, kupikir kau sudah pergi, tapi kau masih di dalam!” Rudi berbicara rendah, namun nadanya penuh ancaman tersembunyi.
Burhan terdiam, menunggu kelanjutan.
Rudi menarik napas. Alih-alih marah, ia justru berbicara dengan nada yang mengejutkan. “Dengar, Burhan. Kau punya apa yang tidak kumiliki—tenaga dan keberanian untuk memuaskan dia.”
Burhan mengangkat alisnya sedikit, reaksi terbesar yang pernah Rudi lihat darinya.
“Mulai sekarang, kau akan tetap bekerja di sini. Tapi ada syaratnya,” lanjut Rudi. “Kau harus memuaskan istriku. Puaskan dia dengan brutal, dengan semua yang kau lakukan kemarin. Tapi kau harus memberitahuku kapan. Aku ingin melihatnya. Aku ingin mendengar semuanya.”
Rudi mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi kamera. “Aku akan pasang ini di kamar. Kamera dan mikrofon. Aku akan mengintip dari kantorku. Kau harus melakukannya di depan kamera.”
Burhan menyeringai tipis, senyum yang sangat dingin. “Tuan Rudi ingin menjadi penonton? Saya tidak keberatan. Ini akan menyenangkan.”
“Dan satu lagi,” Rudi menambahkan, suaranya berubah menjadi perintah. “Kau harus puas, dan dia harus puas. Setelah itu, kau harus memastikan dia membawa ‘tanda’ darimu.”
“Siap, Tuan Rudi. Saya akan pastikan Nyonya Irma menjadi milik saya sepenuhnya.”
***
Sejak hari itu, kehidupan rumah tangga mereka berubah menjadi ritual rahasia yang didokumentasikan. Rudi berangkat kerja, namun ia hanya berpura-pura sibuk. Tabletnya selalu terbuka di meja kerjanya, menampilkan sudut pandang tersembunyi yang ia pasang dengan cermat di kamar tidur utama.
Pagi hari berikutnya, Rudi bangkit dari ranjangnya. Ia melihat tabletnya. Irma sudah tidak ada di sisi tempat tidur.
Ia mengarahkan kamera ke kamar mandi. Di sana, Burhan sudah berada di dalam, berdiri di depan wastafel, kontolnya yang besar sudah tegak lurus. Irma berlutut di lantai kamar mandi yang basah.
Rudi menyaksikan melalui layar.
Irma membuka mulutnya lebar-lebar. Burhan mencengkeram rambut hitam Irma, menarik kepalanya ke belakang seolah ingin mematahkan lehernya, lalu ia mendorong penisnya masuk ke dalam tenggorokan Irma dengan satu hentakan yang dalam.
“HNGGH! HNNGGHH!” Suara desahan Irma tertahan oleh volume suara Burhan yang mengerang puas.
“Ambil semua, Nyonya! Ambil semua milikku!” Burhan menarik dan mendorong, memanipulasi kepala Irma dengan tangan kasarnya.
Rudi mencondongkan tubuhnya ke tablet, tangannya mulai bergerak di antara kakinya sendiri. Ia menatap layar, merasakan panas yang menjalar.
Setelah lima menit yang terasa seperti keabadian, Burhan menarik penisnya keluar dari mulut Irma, menyisakan cairan putih yang mengalir di dagu Irma.
“Sekarang, kau harus melayaniku di dapur, Nyonya. Tunjukkan padaku bagaimana kau akan melayani suamimu nanti.”
Irma berdiri terhuyung, menyeka mulutnya dengan punggung tangan. Ia berjalan ke dapur, masih setengah telanjang.
Burhan mengikutinya. Irma mulai memasak nasi, punggungnya menghadap pintu masuk dapur.
Burhan mendekat dari belakang. Ia menarik daster Irma ke atas bahu, memperlihatkan payudara montoknya.
“Di sini, Nyonya. Aku ingin merasakanmu saat kau sibuk.”
Burhan tidak membuang waktu. Ia mendorong penisnya ke lubang vagina Irma dari belakang, saat Irma masih memegang spatula.
*SQUELCH! SLAP!*
Suara gesekan daging yang basah terdengar jelas melalui mikrofon tablet Rudi. Rudi mengepalkan tangan di atas meja kerjanya, mendesah keras di kamarnya sendiri. Ia meraih kontolnya yang sudah keras dan mulai memijatnya dengan panik.
“Hngh! Hngh! Ya! Itu istriku!” Rudi bergumam pada dirinya sendiri, menyaksikan Burhan menyodok Irma dengan brutal sambil Irma mencoba menjaga agar masakannya tidak gosong.
Irma orgasme lagi, punggungnya melengkung, spatula jatuh dari tangannya. Burhan memompa dengan kuat, menyemburkan spermanya ke dalam rahim Irma, sementara Rudi di kamar sebelah menyelesaikan ejakulasinya dengan suara erangan tertahan.
Setelah Burhan selesai, ia menarik diri. Rudi melihat Burhan menepuk pantat Irma.
“Pergi cuci piring, Nyonya. Saya akan istirahat sebentar.”
***
Permainan terus berlanjut. Gudang yang gelap dan berdebu menjadi lokasi favorit mereka berikutnya.
Suatu sore, Burhan mengunci pintu gudang dari dalam. Rudi sudah memasang kamera tersembunyi di balik tumpukan karung beras.
“Di sini sunyi, Nyonya. Tidak ada yang akan mendengar desahanmu.”
Irma dipaksa berlutut di antara tumpukan jerami.
“Aku ingin kau berteriak namaku saat kau datang!” Burhan memerintahkan, memegang rambut Irma erat.
Burhan memposisikan dirinya, memasukkan penisnya ke lubang anus Irma yang sudah sangat terbiasa.
“Ah! Mas Burhan! Jangan kencang-kencang!”
“Diam! Kamu harus memanggilku!” Burhan mendorongnya dalam.
“AARRRGGHH! AHHH!” Irma menjerit kesakitan sekaligus kenikmatan saat penis itu menembus lebih dalam.
Burhan menggeram. Ia memukul pantat Irma dengan keras setiap kali ia menyodok.
“Panggil namaku! Panggil namaku!”
“BURHAN! AHHH! BURHAN!”
Burhan menyemprotkan spermanya ke dalam lubang anus Irma. Ia puas, lalu menarik penisnya keluar.
“Sekarang, wajahmu,” Burhan menarik Irma berdiri, memaksanya menghadap kamera tersembunyi.
“Aku ingin kau melihat suamimu melihat ini,” kata Burhan, lalu ia menembakkan spermanya tepat ke wajah Irma.
Cairan kental itu membasahi pipi, dahi, dan sebagian rambut Irma.
“Lihat, Nyonya. Aku menandaimu. Suamimu akan tahu kau milik siapa.”
Irma menatap lurus ke arah lensa kamera, matanya berkaca-kaca, namun ada sedikit rasa bangga di sana.
Ketika Rudi pulang sore itu, ia melihat Irma di ruang tamu. Dasternya sedikit kusut, dan ada bekas kering yang mengkilap di sudut pipinya yang ia coba hapus dengan tergesa-gesa. Rudi tahu itu adalah tanda Burhan.
Rudi tidak marah. Ia justru merasakan gelombang hasrat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Itu adalah cuckolding yang sempurna.
***
Minggu demi minggu berlalu. Irma hamil. Rudi mengetahuinya dari dokter kandungan, dan ia tidak bertanya siapa ayahnya. Ia tahu betul. Ia hanya tersenyum puas pada Burhan setiap kali mereka bertemu.
Burhan semakin berani. Ia menyetubuhi Irma di manapun ia menemukan kesempatan: di gudang, di dapur saat Rudi bekerja, bahkan sekali di garasi saat Rudi sedang memperbaiki motor.
Suatu malam, Rudi memutuskan untuk tidak pulang kantor sama sekali. Ia ingin melihat pertunjukan penuh. Ia memasang kamera CCTV tambahan di gudang, lengkap dengan mikrofon sensitif.
Pagi hari, Rudi melihat tabletnya dari kantor yang berjarak lima kilometer. Irma sedang berada di kamar mandi.
Burhan masuk. Rudi menyetel volume audio di tabletnya maksimal.
“Satu jam mulutmu untukku, Nyonya. Lalu kita ke gudang.”
Rudi mendengar suara isapan basah yang intens dari kamar mandi. Ia membayangkan kontol Burhan yang besar itu memenuhi tenggorokan istrinya, dan ia mulai masturbasi dengan liar di kursinya.
Satu jam kemudian, Burhan menyeret Irma ke gudang.
“Aku ingin kau berteriak untukku saat aku menyodok pantatmu hari ini. Aku ingin suamimu mendengar setiap rintihanmu.”
Rudi menyaksikan Burhan memasukkan penisnya ke lubang anus Irma dengan brutal.
“AAAAHHHH! BURHAN! SAKIT! LEBIH DALAM!”
Rudi mengeluarkan suara erangan keras di kantornya, ejakulasi pertamanya pagi itu. Ia menyeka tabletnya yang terkena cipratan, lalu mulai mengulang sesi masturbasi.
Mereka melakukan itu, terus menerus. Irma hamil dengan anak Burhan, namun ia melayani Rudi dengan cara yang baru ditemukan, sentuhan yang lebih berani, lebih liar. Rudi menikmati setiap detik pengkhianatan itu, yang kini menjadi fantasi terbesarnya.
Tiga tahun kemudian, mereka memiliki dua anak laki-laki yang tumbuh besar, dengan mata gelap yang mirip Burhan. Rudi tetap menjadi ayah yang baik di mata dunia, sementara di balik pintu rumah kayu itu, rahasia mereka bersemi.
Setiap pagi, Burhan akan datang. Dan setiap pagi, sebelum Rudi berangkat, ia akan melihat Irma melayani Burhan dengan segala bentuk penyiksaan erotis—mulut, vagina, dan anus. Dan Rudi, sang suami yang ‘kurus’ itu, akan selalu menonton, diam-diam, menikmati buah dari perselingkuhan terorganisir yang ia setujui. Rumah kayu itu kini bukan lagi tempat kesunyian, melainkan panggung bagi nafsu yang tak terpuaskan.

Hijab-Camilla_0007_Thumbnail.jpeg Hijab-Camilla_0007_Thumbnail.jpeg Hijab-Camilla_0006_Thumbnail.jpeg

Reviews

0 %

User Score

0 ratings
Rate This

Sharing

Leave your comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *