Portraiture My Erogenous Zone – Ep 71 – Fifth Act
Cerita Seks Gangbang Terbaru
Jay menatap pesan itu dengan ekspresi serius, matanya menatap layar ponsel seolah mencoba menangkap setiap kata yang tertulis. Di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Ia membatin, “Riri…”
Valent yang duduk di sampingnya memperhatikan perubahan ekspresi Jay dengan seksama. “Ada apa, Jay? Pesan dari siapa?” tanyanya dengan nada sedikit khawatir.
Jay mencoba memaksakan senyum agar suasana tetap ringan. “Oh, enggak apa-apa, Lent. Cuma urusan kerjaan,” jawabnya sambil menutup layar ponselnya. “Bokap lo nanyain, udah ketemu mama lo apa belum… Eh, lo ke hotel duluan ya. Gue masih ada perlu disuruh beli sesuatu sama bokap lo di deket sini. Ntar gue nyusul ke hotel abis belanja…!”
Valent menatap Jay dengan sedikit ragu, namun akhirnya mengangguk. “Oke… Aku percaya sama kamu. Nanti nyusul ya… aku tunggu di kamar…” ucapnya sambil tersenyum lembut.
Jay merasa bersalah, tapi dia tahu ini hanya untuk sementara. Setelah mengantarkan Valent ke taksi, Jay menghela napas dalam-dalam dan bergegas menuju tempat yang disebutkan dalam pesan singkat itu.
Jay kemudian bergegas menuju tempat yang terdapat dalam pesan singkat itu untuk menemuinya.
Sesampainya di sana, bayangan yang selama ini menghantui pikirannya mulai terlihat nyata. Riri, calon ibu mertuanya sendiri, duduk dengan anggun sambil menikmati segelas champagne. Matanya menatap Jay dengan senyum tipis yang sulit diartikan.

Jay berjalan mendekat dan menggeser kursi di depan Mama Riri. “Aku sudah penuhi janji di sms sebelumnya…” katanya dengan suara tenang namun penuh arti.
Mama Riri menyesap champagne-nya dengan anggun, kemudian menatap Jay dalam-dalam. “Hmm… Kamu cepat juga ya? Tante kira kamu akan seperti kebanyakan pria di luar sana seperti sebelumnya…” ucapnya dengan nada menggoda tapi penuh makna.
Jay tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Saya memang enggak mau seperti yang lain, Tante. Saya sudah katakan saya serius sama Valent, dan saya ingin membuktikan itu.”
Mama Riri mengangguk pelan, lalu meletakkan gelasnya. “Bagus kalau begitu. Tapi kamu harus tahu, menjadi bagian dari keluarga ini bukan hal yang mudah. Tante punya standar tinggi, terutama untuk anak perempuan tante…”
Jay mengangguk, menatap mata Riri dengan penuh keyakinan. “Saya siap menerima semuanya, Tante. Demi Valent, saya akan berusaha sebaik mungkin.”
Suasana menjadi hening sejenak, sebelum Riri tersenyum kecil. “Baiklah, kita lihat nanti bagaimana kamu bertahan di keluarga ini. Tapi untuk sekarang, mari kita nikmati malam ini. Kamu pasti lelah setelah perjalanan jauh…”
Riri mengangkat gelasnya dengan senyum tipis, matanya menatap Jay dan Valent yang duduk di seberangnya. Suasana di restoran kecil itu mulai mencair, lampu-lampu temaram menambah kehangatan malam itu. “Sebelum kita masuk ke inti pembicaraan, yuk kita bersulang dulu… Cheers!” seru Riri dengan nada santai tapi tetap penuh hormat.
TRING…
“Cheers!” Jay dan Valent membalas, suara gelas champagne mereka berdenting lembut, menandai awal dari malam yang penuh cerita.

Mama Riri tampak menikmati makan malamnya, sesekali melemparkan senyum hangat ke arah Valent yang tampak sedikit gugup duduk di samping Jay, tunangannya. Mereka bertiga seolah sudah berada dalam lingkaran kecil yang penuh rahasia dan harapan.
Setelah sekitar 30 menit berlalu, Riri menyeka bibirnya dengan serbet, lalu menatap Jay dengan serius. “Nah, kita sudah selesai dengan makan malam pertama kita, dan tante ingin bilang sesuatu yang mungkin bakal sedikit mengubah cara pandang kamu tentang keluarga tante ini.”
Jay hanya bisa terdiam, matanya fokus pada Riri, menunggu dengan penuh rasa penasaran.
“……” Jay hanya bisa terdiam menantikan apa yang akan mama Riri katakan kepadany.
“Mulai dari hubungan tante sama om dulu, yuk… Kamu tahu nggak, gimana tante sama om ketemu di sini dulu?”
Jay menggeleng pelan. “Enggak, Tante. Om Broto enggak pernah cerita soal itu, apalagi tentang Valent. Saya baru tahu kalau Valent itu anak beliau…”
Riri mengangguk pelan, senyum sinis mengembang di bibirnya. “Nah, itu dia… Tepat seperti yang tante duga sebelumnya. Si ‘bajingan tua’ itu memang enggak pernah berubah. Tapi kamu, Jay, kamu enggak ada sangkut pautnya sama semua drama itu, terutama kenapa kamu yang dipilih Broto sebagai calon menantu. Tante harus lihat sendiri, sebenarnya kamu terbuat dari apa…”


Jay mengerutkan kening, sedikit bingung tapi tetap tenang.
“Broto pasti percaya sama kamu sampai dia berani ‘menawarkan’ anak satu-satunya ke kamu, kan? Tante bisa tebak, pasti kamu dapat sesuatu dari dia, iya kan?”
Jay menelan ludah, agak terkejut. “I-iya, Tante… Kok Tante bisa tahu?”
Riri tersenyum penuh arti. “Tante sudah dengar soal perpindahan saham yang ditarik kembali atas nama Broto lewat orang suruhannya. Dan hampir pasti itu akan diberikan ke kamu nantinya, kan?”
Jay mengangguk pelan, masih agak bingung tapi mulai paham arah pembicaraan ini. “Betul… Tapi, apa hubungannya sama ini semua, Tante?”
Riri menarik napas panjang, matanya tajam menatap Jay. “Dengar, Broto ketemu tante sebagai klien sekaligus CEO perusahaan. Tante dulu sempat jadi model buat Broto. Waktu itu, emosi muda yang enggak bisa ditahan, dan tante akhirnya mengandung Valent. Tapi Broto muda itu pengecut, dia ambil sebagian perusahaan tante sebelum ninggalin tante, dan tante harus membangun semuanya dari nol lagi, sementara dia bebas begitu saja. Tante kehilangan masa muda, harus membesarkan Valent sendirian…”

Jay terkejut, hampir terbelalak. “Serius, Tante?”
Riri mengangguk, wajahnya menunjukkan campuran rasa sakit dan ketegasan. “Iya, kamu enggak salah dengar. Uang yang bakal diberikan ke kamu itu, pada dasarnya adalah uang tante. Tapi tante enggak minta itu kembali. Tante juga lihat Valent suka sama kamu, jadi tante sedikit ubah persyaratan pernikahan kalian yang dulu tante buat sama om Broto…”
“(Glek…)” Jay menelan ludah, merasa seperti berada di tengah pusaran emosi dan fakta yang tak pernah ia duga sebelumnya melihat apa yang dikatakan oleh om Broto memang sesuai dengan fakta bahwa Mama Riri orangnya keras dan berbahaya.
Dengan gerakan mantap, Mama Riri mengeluarkan sebuah map tebal dari tasnya dan menyerahkannya ke Jay. Jay membuka map itu, melihat deretan foto wanita cantik dengan profil singkat di sampingnya.
“Apa ini, Tante?” tanya Jay dengan nada penasaran.
Riri tersenyum kecil, tapi matanya serius. “Tante dengar kamu fotografer, dan… kamu juga ‘Don Juan’ seperti Broto. Jadi ini bakal jadi tugas mudah buat pria-pria macam kalian sebelum tante kasih restu untuk kamu menikah sama Valent nanti.”
Jay mengernyit bingung. “Tugas? Maksud Tante gimana?”
Riri mencondongkan badan ke arah Jay, suaranya turun pelan seperti sedang membocorkan rahasia besar yang harus didengar dengan seksama. “Aturannya simpel, Jay. Kamu tahu gak sih, krisis paling menakutkan yang lagi dihadapi negara ini apa? Populasi yang menurun drastis. Nah, kalau kamu bisa buktiin kamu mampu menghamili semua target yang ada di map ini… ya, mirip sama yang Broto lakukan sama tante dulu, walau cuma ‘sekali jalan’ aja… Tante bakal tanda tangan semua perjanjian yang Om Broto kasih ke tante. Semua hak dan restu penuh buat pernikahan kalian nanti.”
Jay terdiam, matanya membelalak setengah gak percaya, seolah yang didengarnya baru saja melampaui batas logika. “Serius, Tante? Ini semacam… ujian?”
Mama Riri terkekeh kecil, tapi nadanya tetap serius dan menantang. “Iya, ujian dari tante. Jangan anggap remeh, Jay. Ini bukan cuma soal cinta atau bisnis. Ini soal kamu bisa buktikan kalau kamu layak jadi bagian dari keluarga ini. Tante gak mau Valent terluka kayak tante dulu, jadi tante harus yakin kamu memang orang yang tepat.”
Jay mengerutkan kening, masih mencoba mencerna semua informasi itu. “Tapi… mereka ini siapa, Tante? Kenapa mereka harus jadi targetku?”
Mama Riri menatap Jay dengan tatapan yang penuh arti. “Iya, kamu benar banget nanya itu. Mereka itu mantan pekerja atau orang-orang yang pernah bikin masalah sama tante. Tante pernah nolong mereka, tapi mereka malah kecewain tante. Jadi ini kesempatan emas buat tante balas dendam tanpa harus ngotorin tangan tante sendiri. Dan yang paling penting, masalah populasi ini jadi kayak satu batu buat membunuh dua burung sekaligus.”
Jay menghela napas panjang, mulai merasa beban tanggung jawab ini jauh lebih berat dari yang dia bayangkan. “Tante, ini berat banget sih… Gimana kalau aku gak bisa?”
Riri menatap serius, suaranya penuh tegas tapi tetap hangat. “Kalau kamu enggak bisa, berarti kamu enggak serius, Jay. Tante tidak pernah menerima penolakan atau pembatalan pernikahan ini. Kamu tahu sendiri risiko kalau pernikahan ini batal, kan? Ingat bagaimana Broto dalam urusan bisnis? Kamu sebagai orang kepercayaannya pasti paham betul gimana kerasnya dia. Sekarang kamu juga tahu, siapa yang sepadan dengan dia…”
Jay mengangguk pelan, rasa takut bercampur dengan tekad mulai tumbuh di dalam dirinya. “Tante, aku butuh waktu buat mikir.”
Mama Riri tersenyum kecil, tapi tatapannya tidak berubah tegas. “Kamu cuma punya waktu dua hari buat mikir. Semua keputusan kamu akan berpengaruh besar ke masa depan Broto dan Valent. Tante enggak akan kehilangan apa pun dari persyaratan ini. Jadi, pikirin baik-baik, ya.”
Malam itu terasa begitu berat bagi Jay. Sepulang dari makan malam bersama Mama Riri yang penuh dengan pembicaraan serius, ia membawa sebuah map berisi dokumen rahasia yang membuat pikirannya berputar tak karuan. Jalan setapak menuju hotel di tengah dinginnya udara Tokyo seolah semakin menambah beban di pundaknya.
Dalam hatinya, Jay merasa sangat dilematis. Persyaratan yang Mama Riri berikan untuknya bukanlah hal sepele. Ia harus ‘mengeksekusi’ wanita-wanita yang ada dalam daftar itu sebagai syarat untuk mendapatkan tanda tangan pernikahannya dengan Valent. Di satu sisi, Jay tahu bahwa tindakan ini bisa menjadi solusi untuk masalah populasi yang mengganjal di negara kelahiran Mama Riri. Namun, di sisi lain, itu bertentangan dengan prinsip hidupnya yang selama ini ia pegang teguh. Bagaimana mungkin dia harus ‘menanam benih’ miliknya itu kepada orang lain, padahal dirinya sendiri masih ragu untuk memulai sebuah kehidupan baru dengan Valent?
Jay berdiri di depan pintu kamar hotel dengan pikiran yang masih kusut. Ia menghela napas panjang, berusaha mengusir kegelisahan yang terus mengganggu. Setelah beberapa detik, ia mengetuk pelan. Pintu pun terbuka perlahan, menampakkan sosok Valent yang tengah menggosok giginya dengan piyama tidur berwarna lembut. Senyum hangat dan matanya yang penuh perhatian seketika membuat Jay merasa sedikit lega.
“Jay, kamu udah pulang? Kok cepet banget? Kangen, ya?” Valent menyapa dengan suara lembut, sambil menaruh sikat giginya di wastafel.

Jay menggeleng kecil, mencoba tersenyum walau masih ada beban di wajahnya. “Iya, Lent… Kangen sih, tapi capek banget juga. Gue tadi nyari hadiah, tapi tokonya tutup lebih cepat dari yang gue kira.”
Valent melangkah mendekat, menyentuh lengan Jay dengan lembut. “Hah, ya ampun, kamu kelihatan kayak habis lari maraton aja. Serius, kamu harus istirahat. Hadiah itu penting, tapi kesehatan kamu lebih penting, loh.”
Jay tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Iya, iya, makasih ya. Besok gue coba lagi, semoga bisa dapet…”
Valent menatap Jay dengan penuh kasih sayang. “Udah, enggak usah paksain diri. Kita kan bisa beliin sama-sama nanti. Yang penting kamu enggak terlalu capek. Eh, ngomong-ngomong, itu dokumen apa sih yang kamu bawa? Kok kayak rahasia banget?”
Jay yang tiba-tiba merasa gugup, mencoba menyembunyikan dokumen itu di balik punggungnya. “Ah, ini? Enggak ada apa-apa kok. Cuma dokumen kerjaan biasa dari bokap lo yang dikasih ke gue lewat front office tadi. Katanya mau dikirim ke kolega dia di Tokyo. Maka dari itu gue tadi mikir sekalian aja gue nyari hadiahnya sewaktu di sms.” Ujarnya berbohong kepada Valent.
Valent mengernyitkan dahi, tapi tetap dengan nada lembut. “Hmm, kamu yakin enggak apa-apa? Soalnya kamu kelihatan agak stres. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku, Jay. Aku di sini buat kamu…”
Jay menatap Valent, merasa beruntung punya calon istri yang perhatian seperti dia. “Makasih, Lent. Gue juga pengen cerita, tapi ini agak rumit. Nanti gue ceritain, ya. Sekarang, boleh enggak aku minta pijitan? Kayaknya gue butuh banget…”
Valent tersenyum lebar dan mengangguk. “Boleh banget! Yuk, duduk dulu. Aku pijitin kamu sampai semua capeknya hilang.”
Jay duduk di kursi dekat jendela, sementara Valent mulai memijat bahunya dengan lembut. Suasana menjadi hangat dan nyaman, seolah semua masalah yang tadi mengganggu perlahan menguap.
“Eh, by the way,” kata Valent sambil terus memijat, “Besok kita harus siap-siap ya buat ketemu mama aku lagi. Aku yakin mama cuma pengen yang terbaik buat kita.”
Jay menghela napas, tapi kali ini dengan senyum. “Iya, gue tahu. Semoga besok semuanya lancar, dan kita bisa bikin mama kamu senang.”
Valent menggenggam tangan Jay erat. “Tenang aja, Jay. Kita hadapin semua ini bareng-bareng. Enggak perlu takut.”
Malam itu, di kamar hotel kecil yang hangat di tengah keramaian Tokyo, suasana terasa begitu intim dan penuh kehangatan. Jay dan Valent duduk berdampingan, saling bertukar cerita tentang hari mereka yang melelahkan, namun juga penuh harapan. Kota Tokyo yang gemerlap di luar jendela seolah menjadi saksi bisu dari momen manis ini.
Valent, dengan senyum nakal yang tak bisa ia sembunyikan, tiba-tiba menyingkap sedikit piyama tidurnya. “Eh, Jay… kamu suka gak daleman aku yang baru ini?” tanyanya dengan suara menggoda, sambil memperlihatkan sedikit pakaian dalam yang elegan dan seksi.

Jay menoleh sebentar, matanya masih terpaku pada bayangan mereka yang memantul di kaca balkon. Ia tersenyum tipis, merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih kencang. “Wah, lo emang selalu tahu cara bikin gue speechless, ya? Tapi gue harus bilang, lo terlihat luar biasa malam ini, Lent…” jawab Jay sambil menyelipkan candaan ringan agar suasana tetap santai.
Valent tertawa kecil, lalu mendekatkan ponselnya ke Jay. “Aku pengen kamu fotoin aku nanti, dong. Biar aku punya kenangan, dan… siapa tahu bisa aku pamerin ke Mama nanti, haha!” Valent mengangkat alisnya sambil tertawa pelan.
Jay mengangkat alisnya sambil tertawa pelan. “Kalau Mama lo liat, dia pasti setuju gue harus jadi menantunya. Tapi jangan sampai lo terlalu sering pamer, ya, nanti gue yang cemburu.”
Valent menggoda, “Cemburu? Kamu? Ah, masa sih? Aku tahu kamu malah bangga punya calon istri secantik aku ini.”
Mereka berdua tertawa bersama, menikmati momen sederhana yang penuh kehangatan dan cinta. Di tengah kota Tokyo yang sibuk dan penuh tantangan, mereka merasa lebih kuat karena saling menguatkan, siap menghadapi masa depan bersama. Jay menggenggam tangan Valent erat, seolah ingin mengatakan tanpa kata bahwa ia akan selalu ada untuknya, dalam suka maupun duka.
“Malam ini, aku cuma pengen kita santai aja, ya. Enggak usah mikirin apa-apa,” ujar Jay dengan suara lembut sambil memeluk bahu Valent. Mereka duduk bersandingan di sofa kecil dalam kamar yang hangat, di tengah kota Tokyo yang sibuk namun terasa jauh dari kebisingannya.
Valent mengangguk, menatap mata Jay dengan penuh kasih sayang. Senyum manisnya menenangkan hati Jay. “Setuju. Kita lewati semua tantangan itu bersama-sama. Aku yakin, selama kita saling ada, enggak ada yang enggak bisa kita lalui.”
Mereka pun berpelukan erat, membiarkan kehangatan tubuh mereka saling menenangkan. Di kamar kecil itu, di tengah gemerlap kota Tokyo yang terlihat dari jendela, cinta mereka tumbuh semakin kuat. Mereka berdua merasa aman dan nyaman dalam pelukan satu sama lain, menantikan hari esok yang penuh harapan.
Jay merasakan kehangatan dari pelukan Valent, dan jarak mereka yang semakin dekat membuatnya merasa semakin nyaman. “Gue seneng kita bisa kayak gini,” bisik Jay di telinga Valent. “Bareng lo, rasanya semua beban langsung ilang…”
Valent tersenyum, lalu membalas pelukannya dengan lebih erat. “Aku juga, Jay. Aku juga merasa sama.”
Malam itu, mereka memutuskan untuk tidak memikirkan apa pun selain waktu bersama. Mereka berbincang ringan, tertawa, dan menikmati suasana yang hangat. Namun, lambat laun, suasana mulai berubah menjadi lebih intim.
“Mau duduk di tempat tidur aja kah?” tanya Jay sambil menunjuk ke arah tempat tidur. “Lebih nyaman, kan?”
Valent mengangguk, lalu bergerak menuju tempat tidur. Mereka duduk bersama, saling menatap dengan pandangan yang penuh makna.
“Gue seneng banget bisa segera ‘marking’ lo sebagai istri gue…” ujar Jay dengan suara yang lembut namun penuh emosi. “Lo itu… segalanya buat gue, Lent.”
Valent merasa hatinya meleleh mendengar kata-kata itu. Ia meraih tangan Jay dan menatapnya dengan mata yang penuh kasih sayang. “Aku juga, Jay. Aku juga ngerasain yang sama.”
Mereka berdua kemudian saling memandang dalam diam, menikmati kehangatan malam itu. Suasana yang tenang dan nyaman membuat mereka merasa semakin dekat satu sama lain.
“Mau dengar lagu yang baru gue temuin?” tanya Jay sambil mengambil ponselnya. “Lagunya romantis banget, kayak kita.”
Valent tertawa kecil, lalu mengangguk. “Tentu, ayo aku mau denger…”
Jay lalu memutar lagu tersebut, dan mereka berdua duduk bersama, menikmati lirik lagu yang menggambarkan cinta sejati. Suasana semakin hangat, dan mereka merasa semakin nyaman dalam kebersamaan.
“Kamu tahu enggak, malam-malam gini aku paling suka,” bisik Valent sambil menempelkan kepalanya di bahu Jay. “Bareng kamu, rasanya semua jadi lebih baik.”

Jay merasakan hangatnya pelukan dari Valent dan terutama ‘aset’nya yang cukup menggoda itu dalam pelukannya. Gundukan empuk itu menempel pada dadanya dan seketika mengaktifkan mode ‘liar’nya.
Jay mendorong sedikit bahu Valent dan kemudian mencumbu bibir calon istrinya itu dengan lembut. Valent merasakan ketidaksabaran Jay dan ikut mencumbunya sampai kemudian Valent melepaskan semua piyama yang melekat di tubuhnya dan menyisakan pakaian dalam miliknya. “Mmm… Mmmm… Mmmph…”
“Lo mau gue fotoin make daleman doang kan…? Ayo kita lakuin sekarang…!” lanjut Jay setelah puas berciuman dengan Valent.
Valent mengangguk pelan, lalu merangkak di atas tempat tidur dan berbaring dengan posisi yang menarik. “Ayo… Cepetan, aku enggak sabar difotoin sama calon suami aku sendiri…!” katanya sambil tertawa ringan. Ia menggunakan pakaian dalam yang menarik, dan dengan percaya diri mempertontonkan penampilannya di depan Jay.
“Wah, lo emang pintar banget pose, yah?” Jay mengambil ponsel miliknya dan langsung mulai memotret. “Tapi, Valent, ini untuk kenangan kita berdua aja, ya. Enggak boleh dipamerin ke orang lain!”
Valent tertawa. “Tenang, ini cuma untuk kita. Tapi, siap-siap aja kalau nanti aku jadi bintang iklan pakaian dalam karena poseku yang keren ini!”
“Hah? Jangan bercanda soal itu! Gue enggak pengen lo jadi perhatian orang lain. Lo itu milik gue!” Jay berkata sambil tetap fokus memotret.
“Milik kamu? Jadiin aku barang aja sih!” Valent pura-pura marah sambil melempar bantal ke arah Jay.
Perlahan momen foto antara fotografer dan modelnya terlihat semakin intim, Valent tanpa ragu berpose memamerkan asetnya di depan Jay yang merupakan calon suaminya sendiri.
Sesekali tatapan mata Valent tertuju pada celana yang dipakai oleh Jay dan tersenyum malu ketika mata Valent seperti bisa menerawang tembus pandang. Ia tidak bisa menahan tawa ketika ia melihat Jay sedikit “terganggu” dengan pose-pose yang ia lakukan.
Valent mencoba berbagai pose sesuai dengan arahan Jay bahkan yang cukup ekstrim memperlihatkan area pribadinya tepat di depan lensa kamera milik Jay untuk menunjukkan kebolehannya berpose layaknya seorang model profesional.
“Ayo, Lent, jangan malu-malu! Lo kan cakep!” Jay berseru sambil tertawa, sambil menyesuaikan sudut kamera untuk menangkap momen yang tepat.
Valent mengigit bibir bawahnya, mencoba menahan malu. “Kamu ini jahil banget ya! Tapi… ini untuk kenangan kita aja, kan?” Ia berkata sambil menatap Jay dengan mata yang sedikit berkilat.
“Tentu saja! Ini semua hanya untuk kita berdua. Tapi lo harus percaya diri, sayang. Lo sangat cantik dan menawan. Setiap pose yang lo lakuin adalah karya seni!” Jay memuji, sambil mengambil beberapa foto dari berbagai sudut.
Valent tersenyum, merasa semakin nyaman. Ia mulai menuruti arahan Jay, berpose dengan lebih bebas. “Gimana kalau aku coba pose yang lebih… ekstrim?” Ia bertanya sambil mengangkat alis, memberikan senyum yang conspiratorial.
Jay tertawa dan menggelengkan kepala. “Lo memang bener-bener yang suka mencari sensasi, ya? Ayo, silakan. Tapi jangan salahin gue kalau nanti hasilnya terlalu memukau dan gue jadi gak bisa konsentrasi!”
Valent tertawa, lalu mulai berpose dengan lebih berani. Ia menunjukkan garis-garis tubuhnya yang memikat, sesekali menyembunyikan wajahnya di balik rambutnya yang panjang. Setiap kali ia melihat Jay, ia selalu menemukan ekspresi yang membuatnya merasa bahagia dan aman.
“Kamu tahu, kan, kalau aku ngelakuin semua ini hanya karena aku percaya sama kamu?” Valent berkata, suaranya lembut namun jelas. “Aku tahu ini semua adalah untuk kita, dan itu yang membuatku merasa nyaman.”

Jay berhenti sejenak, menatap Valent dengan mata yang penuh kasih sayang. “Gue juga ngerasa sama. Gue janji buat selalu ngejaga dan ngelindungin lo, di depan kamera atau di luar-frame. Lo sekarang tanggung jawab gue…!”
“Alah gombal…!” balas Valent mendekati Jay dan telapak tangannya mencoba mengusap area pinggang Jay dan kembali berciuman dengannya. “Mmm… Jay… Boleh gak aku…?” Valent menggigit tipis bibirnya memberikan kode kepada Valent dengan telapak tangannya terus mengusap area pinggang Jay sebelum turun lebih ke arah bawah lagi dari sebelumnya.
Jay tersenyum, wajahnya memperlihatkan kehangatan yang membuat Valent merasa aman. Ia mengangguk pelan, “Tentu aja, Lent. Gue juga pengen banget…” Jawaban Jay yang singkat namun jelas membuat Valent tertawa pendek, dan mereka kembali berciuman dengan hangat.
Valent mengangguk pelan, matanya menatap dalam ke mata Jay. “Gue cuma pengen kita nikmatin momen ini bareng, tanpa tekanan apapun…” katanya dengan suara lembut tapi penuh makna.
Valent kemudian mulai merangkak mendekati Jay, gerakannya pelan dan penuh perhatian. Tangannya meraih gesper celana Jay, membuka perlahan sambil sesekali menatap wajah Jay untuk memastikan dia nyaman. Celana dalam Jay mulai terlihat, dan Valent tersenyum kecil, mengingat kembali saat Jay memotret dirinya dulu. “Ini persis kayak yang gue bayangin waktu lo foto gue barusan…” ujarnya sambil menggoda.

Jay tertawa ringan, sedikit grogi tapi senang. “Iya, gue pengen kita punya kenangan yang spesial, bukan cuma foto-foto doang, tapi momen yang bener-bener kita rasain bareng.”
Valent merangkak lebih dekat, duduk di pangkuan Jay. “Aku suka banget momen kayak gini, di mana kita bisa jadi diri sendiri, tanpa harus pura-pura. Kamu tahu kan, aku enggak suka yang ribet-ribet, sat set gitu…” katanya sambil menyandarkan kepala ke dada Jay.
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kehangatan yang tercipta di antara mereka. Lampu kota Tokyo yang berkelap-kelip di luar jendela menambah suasana romantis malam itu.
Valent menatap Jay dengan mata berbinar, senyumnya nakal tapi manis. Tanpa berkata-kata, ia menyelipkan tangannya ke dalam celana Jay, perlahan menggenggam sesuatu yang membuat napas Jay sedikit tersengal. “Kamu suka gak…?” Valent bertanya dengan suara lembut tapi penuh godaan.
Jay membalas dengan suara yang sedikit serak, “Mmmph… Belum berasa sih… Kurang aja gitu…” Ia menatap Valent dengan ekspresi menggoda, seolah menantang.
Valent tertawa kecil, lalu dengan cepat meremas tangan yang menggenggam itu, membuat Jay sedikit kaget tapi juga merasa geli. “Iiiih… Serius…! Aku gigit ntar yah…!” ancamnya sambil tersenyum jahil, seolah memberi peringatan kalau dia akan bermain lebih serius kalau Jay tidak nurut.
Jay tertawa pelan, “Wah, lo ini… Jangan sampai gue jadi takut sama calon istri gue sendiri, ya.” Ia meraih tangan Valent dan menggenggamnya erat, menunjukkan betapa ia menikmati momen itu. “Tapi gue suka kalau lo kayak gini, bikin semuanya jadi lebih seru…”
Valent mencondongkan tubuh, wajahnya dekat dengan Jay. “Seru itu wajib, apalagi buat kita yang sebentar lagi bakal resmi jadi suami istri. Aku pengen semuanya terasa spesial, bukan cuma hari ini, tapi setiap hari ke depan.”
Jay mengangguk, matanya penuh dengan rasa sayang. “Gue juga, Lent. Lo tau kan, malam ini cuma awal dari semuanya yang akan kita jalani bersama.”
Valent mengangguk sebelum kemudian membuka celana boxer Jay dan meraih apa yang ingin dia sentuh sedari tadi.
Mata Valent begitu terpana dengan kontol milik calon suaminya itu berusaha membandingkannya dengan lingkar lengannya sendiri. “Jay, tubuhmu sungguh menakjubkan. Aku enggak sabar menjelajahi setiap inci tubuh kamu.”
Jay menyambut sentuhan Valent, “Gue pun merasakan hal yang sama, Lent… Gue pengen menjelajah tubuh lo sampai gue puas…!”
Terlihat mantapnya kontol Jay itu, Valent merasa tubuhnya sendiri mulai terangsang. Kedua belah tubuhnya seperti beradu hebat, bagaikan bumi dengan langit yang mulai bergelut. Kemudian Valent pun membuka pakaian dalamnya, hingga tinggal dengan celana dalam yang seksi hampir tidak menutupi memeknya dengan sempurna.
Jay mengelus-elus tubuh Valent, seolah ingin memanfaatkan momentum. “Lo beneran udah enggak sabar, kan?” tanya Jay mengusap pinggul Valent dan jari jempolnya menyangkut pada tali celana dalam seksi milik Valent tersebut.
Valent mengangguk, “Aku enggak sabar karena aku cinta kamu, Jay.”
“Yakin?” tanya Jay.
“Udah buruan…! Masukin punya kamu ke anus aku…!” Valent kemudian meringkuk sejenak sambil menyepong ujung kontol Jay dan kemudian berbalik untuk menungging seperti meminta Jay untuk segera mencoblosnya.
Jay menyodok pelan namun pasti. Tubuh Valent menegang, bibirnya membuka sedikit menyemburkan desahan nikmat. “Ahh… kamu… Jay… entot aku…”

Jay menggigit bibir, menahan kesakitan saat kontol itu mulai terbenam di dalam anus calon istrinya. Sudah separuh lebih masuk, Jay memutar pelan sambil mengucapkan kata-kata sayang. Valent menikmati gesekan itu. Kontol Jay itu mulai masuk makin dalam hingga hilang di balik bawahnya.
“Ahh… Jay… Aku ngerasa penuh…” Valent menggigit bantal sambil menggenggam sprei. Jay menggesek pelan, membiarkan Valent merasakan penuh oleh kejantanannya. Setelah beberapa lama, Jay mulai meningkatkan kecepatan sodokannya. Tubuh Valent berguncang, payudara terguncang oleh sodokan Jay.
Plak… Plak… Plak… Plak… Plak…
Valent meremas sprei kasurnya dan sesekali menggigit bantal tidurnya ketika Jay meremas pantatnya dan terus menghujamkan kontolnya di dalam anusnya saat ini.
Plak… Plak… Plak… Plak… Plak…
Jay merasakan tertarik melihat rambut panjang Valent dari belakang dan mencoba mengikat rambutnya dengan satu telapak tangannya dan meremasnya seperti Jay menunggangi seekor kuda sambil terus menghujamkan miliknya tersebut di dalam anus Valent.
Valent terkapar, lidahnya menjulur, matanya melotot dan bibirnya terbuka ketika Jay menghujamkan batangnya itu semakin dalam dan semakin kuat ke dalam anusnya. “Ahhhn… Jay, lebih cepet! Di dalem…” desah Valent menggelinjang dengan nikmat.
Jay menatap menjadi semakin liar, pinggul Valent diremasnya demi mencapai puncaknya. Tangannya yang satunya mencengekram rambut panjang Valent, memegangnya seperti Jay menunggangi kuda liar. “Mmmh… Lent, pantat lo montok banget ya?”
Plak… Plak… Plak… Plak… Plak…

“Jay, jangan berhenti! Ah… Jay…!” Valent merintih nikmat tak terkatakan, tubuhnya melentur tanpa daya ketika Jay terus menyerang anusnya dengan amat sangat liar dan animal. Sprei hotel mewah yang mereka tempati kini rebah berantakan, bantalnya terlempar ke lantai, sementara tubuh telanjang Valent yang montok itu bergoyang-goyang.
Valent merintih nikmat luar biasa saat Jay menghujamkan batang kontol itu terus menerus menyerang gerbang belakang miliknya. Lubang anusnya terbuka menyerah tanpa mampu menolak serangan Jay yang amat brutal itu.
“Ahh… Jay…! Aku enggak tahan lagi…!” perintah Valent penuh nafsu liar saat batang Jay terus menerobos menjelajah ke dalam tubuhnya. Darah segar terlihat menetes dari anus Valent akibat serangan brutal Jay itu.
Sementara itu, Jay dengan amat sangat memuaskan terus mengangkat tubuh Valent dalam posisi full nelson dan menggoyangkan kontolnya di dalam anus Valent dengan amat sangat brutalnya. Bola naga miliknya terlihat bergoyang liar mengikuti irama goyangan anus Valent.

“Ahh… Jay, terusin…! Hajar gue…!” perintah Valent penuh nafsu liar, menikmati permainan sadis Jay yang terus menyerang anusnya dengan brutalnya.
Valent melenguh dan menggeliat Никmat pada setiap sodokan Jay. “Ahh… Jay, aku sangat suka kamu, sayang!” desahan Valent yang mulai meninggi. Tubuhnya terasa panas, otot anusnya meremas penis Jay hingga tubuh Jay terangsang hebat.
Jay mengelus pahatan pantat Valent yang montok sementara dalam hitungan detik tubuh Valent kami bergoyang hebat menikmati setiap sodokan nikmat. Posisi full nelson yang diterapkan membuat lubang anus Valent terbuka lebar dan penis Jay bisa masuk lebih dalam.
“Ahh… Jay!” teriak Valent lirih yang mulai merasa akan klimaks. “Aku mau keluarin abis ini!” Ucapnya panik. Tubuhnya menggigil nikmat, pinggulnya terangkat untuk membantu memasukkan penis Jay lebih dalam lagi ke dalam anusnya.
“Ahhn… Jay, aku mau keluar! Keluarin di dalem aku, Jay… entot aku dan semburin di dalem anus aku…” desah Valent dengan mata melotot, tubuhnya gemetar hebat dan kakinya mengapit erat pantatnya sendiri ketika orgasmnya datang menyergap.
Jay merasakan tubuh Valent menegang dan nikmat yang amat sangat ketika menghujamkan batangnya semakin dalam dan kuat. “Mmmh… Lent, pantat lo buat gue meleleh! Sampai gue mau keluar juga nich… Ngaaaaahh…” Jay mengerti tubuh Valent dan mendorong pantatnya semakin dalam dan keluar, hingga batangnya itu hilang dalam anus Valent.
Plak… Plak… Plak… Plak… Plak…
Plak… Plak… Plak… Plak… Plak…
“Ah… ah… Jay… Sampai Jay hampir keluar… Keluar di dalam ya, Jay…” Valent menggelayut dengan amat sangat nikmat, tangannya mencakar punggung Jay. Jay mengetahui tubuh Valent yang hampir orgasme dan mendorong batangnya keluar masuk sebanyak 5x, hingga sperma Jay menyembur deras ke dalam anus Valent.
Crooottt… Crooottt… Crooottt… Crooottt… Crooottt…
“Ngaaaahhnnn… Valent… Gue keluar… Terima kasih untuk pantat lo ini…” suara Jay yang liar itu berbisik di telinga Valent.
Valent merasa tubuhnya merinding hebat, ejakulasinya meluber juga dan membasahi pahatan pantatnya. Tubuhnya mengerang hebat, berkelojot-kelojot, matanya melotot, seakan tidak sadar diri.
Setelah beberapa detik tubuh Valent melemas dan terkulai di atas ranjang hotel mewah itu. Sementara Jay masih terus menikmati tubuh montok calon istrinya itu. Mereka berdua saling berpelukan dengan tubuh telanjang dan bermandikan cairan ejakulasi.
“Ahh… ahn… Jay… Keluarannya banyak juga nich… Ahh… Sampai anus aku penuh oleh sperma kamu Jay… Mmmh…” Valent menghela napasnya dengan amat sangat puas, tubuhnya terkulai lemas di atas sprei hotel mewah yang telah ia pakai bersama dengan Jay.

“Tapi serius, Jay, ini seru juga, ya. Aku seneng bisa punya kenangan kayak gini sama kamu…”
“Sama kok. Gue juga seneng bisa jadi fotografer pribadi lo. Pose lo makin hari makin menarik aja, ya!” Jay mengambil motif yang lebih unik untuk fotonya.
Valent tersenyum manis. “Makasih, Jay. Kamu juga makin jago nih jadi fotografer. Tahu gak, abis aku pengen jalan-jalan di kota bareng kamu. Udara malamnya enak banget, ya?”
“Wah, ide bagus! Udah lama gue pengen jalan-jalan malam di Tokyo. Mau ke Odaiba? Atau ke Shibuya?”
“Hmm,mana yang lebih romantis? Aku pengen tempat yang bisa kita nikmati berdua aja, tanpa terlalu ramai.”
“Pergi ke Tokyo Tower aja? Waktu malam, pemandangannya bagus banget, dan lampu-lampunya juga cantik. Gue janji, di sana kita bisa lebih nyaman bareng.”
Valent mengangguk. “Tokyo Tower, ya? Aku suka ide kamu. Tapi jangan lupa, setelah ini kita harus siap-siap, soalnya besok pagi kita ada acara yang penting.”
“Tenang, gue siap. Besok kita bisa langsung sarapan dulu, terus berangkat. Ayo, selesai sudah fotonya, sekarang kita jalan…?”
“Hmm… Enggak deh… Maunya bobok aja sama kamu jadinya abis kita having fun barusan…!” Valent merebahkan kepalanya di atas dada Jay dan kemudian memejamkan matanya sedangkan lubang anusnya yang digempur Jay habis-habisan terlihat masih terbuka dan mengeluarkan sisa sperma milik Jay dari dalamnya.
Mereka kemudian berdua terlena dan tertidur panjang hingga pagi hari.