Portraiture My Erogenous Zone – Ep 69 – Third Act

Author Avatar

RajaBokeps

Joined: Mar 2025
Bagikan Video Bokep Ini

Cerita Dewasa ABG Gangbang

Di bawah gemerlap lampu Dubai, Jay dan Valent sering kali mendapati diri mereka tenggelam dalam mimpi tentang masa depan bersama, masa depan yang dipenuhi cinta, tawa, dan kemungkinan yang tak terbatas. Mereka telah menciptakan sepotong surga dalam kebersamaan mereka, tetapi jalan mereka menuju pernikahan dipenuhi dengan tantangan yang unik. Mama Valent, yang terkenal karena nilai-nilai tradisional dan sifatnya yang cerdas, selalu menjadi penjaga hati putrinya yang tangguh.

Snapinsta.app 288872234 154314527171272 4703992452572340293 N 10806E6B47C4Bb44496A.md

Setelah makan malam yang hangat, ketiganya keluar dari restoran. Udara malam terasa sejuk menerpa wajah mereka. Valent, dengan langkah ringan menggandeng lengan Jay, sementara Papa Valent berjalan di sisi lain dengan senyum di wajahnya. Suasana akrab terasa kental di antara mereka, seperti sebuah keluarga kecil yang baru saja menikmati waktu bersama.

Mereka bertiga kemudian pulang setelah makan malam bersama. Mereka berpisah dengan Papa Valent kembali ke kantornya dan membiarkan Valent dan Jay pulang sendiri tanpa perlu cemas dengan apa yang akan mereka lakukan sepulang dari restoran tempat mereka menikmati makan malam ini.

“Sayang…” Papa Valent menghentikan langkahnya di depan mobilnya yang sudah menunggu. Ia menatap Valent dengan lembut, kemudian beralih pandang pada Jay sesaat. “Kamu balik aja sama Jay, tapi inget… kamu standby sama flight kamu yah. Papa udah siapin pesawat buat kamu, dan kamu bakalan ketemu Mama kamu dalam 2×24 jam ke depan, jadi persiapkan diri sebaik mungkin…” Ada nada serius namun penuh kasih sayang dalam ucapan Papa Valent. Ia seolah ingin memastikan Valent memahami pentingnya perjalanan ini.

“Papa enggak ngelarang kamu mau ngapain sama Jay, itu hak kamu tapi… Inget Mama kamu orangnya gimana? Jangan aneh-aneh sebelum Mama kamu bilang oke ya…!” lanjut Papa Valent dengan sedikit nada bercanda di akhir kalimatnya, meskipun matanya tetap menunjukkan kesungguhan. Ia tahu betul bagaimana karakter istrinya, ibu Valent, yang penuh pertimbangan dan memiliki standar tinggi dalam banyak hal. Dia ingin Valent berhati-hati dan menghormati proses yang ada.

“Papa balik ke kantor dulu…!” Papa Valent menyelesaikan ucapannya, kemudian membuka pintu mobilnya. Ia masih sempat melambai pada Valent dan Jay sebelum masuk dan mobilnya meluncur pergi, meninggalkan mereka berdua di tepi jalan yang mulai sepi.

“Oke, pah… Makasih ya…!” Valent melambaikan tangannya pada mobil Papa Valent yang semakin menjauh. Ia kemudian menoleh pada Jay, tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Jay itu. Jay membalas senyumnya, merasakan kehangatan dari sentuhan Valent di bahunya. Ia juga menoleh pada mobil Om Broto yang sudah menghilang di ujung jalan, tersenyum kecil sebagai tanda hormat pada calon ayah mertuanya tersebut. Mereka memang sudah saling mengenal baik selama bertahun-tahun, namun status ‘calon’ ini terasa berbeda dan sedikit menggelitik.

Setelah mobil Papa Valent benar-benar menghilang dari pandangan, Jay merangkul Valent erat. “Udah siap ketemu Mama lu sendiri, hm?” tanyanya lembut sambil mengusap rambut Valent dengan sayang.

Valent menghela napas panjang, mengangkat wajahnya menatap Jay. “Siap nggak siap, harus siap dong,” jawabnya dengan senyum sedikit gugup. “Tapi… ‘jangan aneh-aneh sebelum Mama bilang oke’ itu maksudnya apa ya, Jay?”

Jay tertawa kecil mendengar pertanyaan Valent. “Mungkin maksud Papa… jangan bikin Mama lu kaget atau khawatir lah. Katanya Mama kan orangnya detail dan suka semua terencana dengan baik…”

Valent mengerutkan kening, berpikir sejenak. “Iya sih, Mama memang suka semua teratur. Jangan-jangan Papa takut aku langsung… kabur sama kamu sebelum Mama kasih ‘lampu hijau’?”

Jay tersenyum geli. “Mungkin juga. Papa kan sayang banget sama lu apalagi lu anak tunggal, wajar kalau dia agak protektif.” Jay mencubit hidung Valent gemas. “Tapi tenang aja, ‘lampu hijau’ dari Mama pasti cepet kok keluarnya. Asal kita berdua kompak dan nunjukkin ke Mama kalau kita serius.”

Valent mengangguk setuju. Perjalanan menemui Mama memang sedikit membuatnya tegang. Ia sangat merindukan ibunya, namun ia juga tahu betul betapa perfeksionis dan hati-hatinya Mama dalam mengambil keputusan, terutama yang menyangkut masa depan Valent. Ia berharap pertemuannya kali ini berjalan lancar dan mendapat restu dari Mama untuk hubungannya dengan Jay.

“Yaudah, yuk pulang,” ajak Jay menggandeng tangan Valent menuju mobilnya yang diparkir tidak jauh dari restoran. Mereka berjalan beriringan, menikmati sisa malam yang tenang. Di dalam mobil milik Valent, Valent membiarkan Jay menyetir mobil mahalnya itu sambil menyandarkan kepalanya di jendela, memandang ke langit malam bertabur bintang. Pikirannya melayang pada ibunya yang akan segera ditemuinya. Ia membayangkan senyum hangat Mama, nasihat-nasihat bijaknya, dan juga… tatapan menyelidik yang mungkin akan mengujinya.

Jay melirik Valent dari samping, melihat ekspresi wajah kekasihnya yang sedikit menerawang. Ia tahu Valent sedang memikirkan Mamanya. Ia menggenggam tangan Valent, mengusapnya lembut. “Semuanya bakal baik-baik aja, Sayang. Gue yakin Mama lu pasti suka sama hubungan kita…” ucapnya menenangkan.

Valent menoleh, tersenyum tulus pada Jay. “Makasih ya, Jay. Aku jadi lebih tenang denger kamu ngomong gitu…”

“Udah kewajiban gue dong bikin lu tenang…” balas Jay dengan senyum manis. Ia mengeratkan genggaman tangannya, seolah ingin menyalurkan seluruh keyakinan dan dukungan yang dimilikinya pada Valent.

Perjalanan pulang mereka lalui dalam keheningan yang nyaman. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, membayangkan pertemuan dengan Mama dan segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun di balik ketegangan dan sedikit kecemasan, tersimpan juga harapan besar dan keyakinan akan masa depan yang cerah bersama. Dalam 48 jam ke depan, Valent akan bertemu dengan Mamanya, dan jawaban ‘oke’ dari Mama akan menjadi penentu langkah selanjutnya bagi hubungan Valent dan Jay. Waktu 48 jam terasa begitu panjang dan penuh penantian.

30 menit berlalu dan Jay sampai di tempat tujuan untuk mengembalikan Valent di resor tempat mereka menikmati waktu berdua sebelumnya.

Cahaya lembut pintu masuk hotel terpancar ke aspal yang dipoles saat Jay mengemudikan mobilnya hingga berhenti perlahan di depan tempat parkir valet. Lampu-lampu kota memudar di pinggiran setelah perjalanan panjang mereka, dan antisipasi yang tenang menyelimuti udara, jenis yang selalu mendahului kedatangan yang nyaman.

Tepat saat mobil berhenti, seorang pemuda berseragam rapi muncul, gerakannya terlatih dan efisien. Dia adalah Valet Boy, dan dengan anggukan sopan, dia meraih pintu pengemudi lalu membukanya.

“Udah sampe nih… Lu udah ngantuk keliatannya…?” tanya Jay kepada Valent yang menyandarkan kepalanya pada kaca jendela samping mobilnya tersebut.

Suara Valet Boy itu hangat dan penuh hormat saat dia menyapa mereka, “Welcome back, Sir…”

Bahu Jay sedikit mengendur, suaranya diwarnai dengan kelelahan yang menyenangkan karena perjalanan yang telah selesai.

“Ah, thank you…! Please, park her car as usual. We will go to Tokyo tomorrow morning so please take care of the car too…”

Valet Boy itu menegakkan tubuhnya dengan tatapannya tak tergoyahkan dan meyakinkan. “Yes, sir. I am always in charge of guarding and maintaining Miss Valent’s car while she stays here. Don’t worry… May I have the key, Sir?”

“Ah, here is the key…!” Jay meraih kunci kontak dan dengan lembut mencabut kunci mobil. Gerakannya hati-hati, hampir lambat, seolah-olah dia sedang menikmati ketenangan saat itu. Jay memberikan kunci mobil Valent kepada Valet boy itu dengan pelan dan Jay berusaha gentle untuk membantu Valent untuk keluar dari mobilnya dalam keadaan sedikit mengantuk tersebut.

Valent berkedip perlahan sebelum matanya terfokus pada wajah Jay. Sebuah menguap kecil lolos dari bibirnya, tetapi ia berhasil tersenyum mengantuk sebagai balasannya. Jay dengan hati-hati membuka sabuk pengamannya dan mengulurkan tangan untuk menawarkan bantuan kepada calon istrinya tersebut.

“Ayo, tukang tidur…” gumam Jay pelan, tangannya terentang. Valent meletakkan tangan langsingnya itu di tangannya, jari-jarinya dingin di telapak tangan Jay yang hangat. Jay membantunya keluar dari mobil dengan anggun, menopangnya dengan lembut saat wanita itu meregangkan tubuhnya, gerakan lambat dan lesu yang menunjukkan kelelahannya.

Valet Boy itu mengawasi dengan tenang dan penuh perhatian, sambil memegang kunci mobil dengan aman di tangannya. Dia yang terbiasa dengan rutinitas ini, kedatangan Valent, mobil yang sudah dikenalnya, permintaan untuk perawatan yang cermat.

Saat Jay menuntun Valent menuju pintu masuk resor mewah itu, aroma campuran citrus dan aroma laut yang samar tercium di udara malam. Langkah Valent memang masih sedikit goyah, sisa perjalanan panjang dari restoran masih menggelayuti tubuhnya. Jay memegang lengan Valent dengan mantap, memastikan jalannya stabil di atas jalan setapak batu yang indah.

“Lu ngantuk berat kayaknya, Lent?” tanya Jay dengan nada khawatir namun lembut. “Mungkin kita harus langsung ke kamar saja…”

Valent menghela napas pelan, mencoba mengusir rasa lelah yang mencengkeram. “Enggak apa-apa, Jay. Sebentar lagi juga hilang. Aku cuma butuh udara segar dan sedikit pemandangan indah sebelum tidur.” Dia menoleh ke arah kolam renang resor yang berkilauan di bawah lampu taman, dan sesaat pandangannya terpukau.

Valet Boy itu masuk ke kursi pengemudi mobil Valent. Mesinnya menderu, dan dia dengan mulus mengarahkan kendaraannya menuju tempat parkir yang ditentukan. Dalam pikirannya, ini bukan hanya sekadar memarkirkan mobil. Ini adalah kepercayaan yang diberikan padanya. Ia paham betul mobil-mobil yang dititipkan padanya bukan sekadar besi dan mesin, melainkan aset berharga bagi pemiliknya, bahkan mungkin kenangan dan simbol status. Ia akan memastikan mobil Valent aman, terlindungi dari debu dan goresan, dan siap dalam kondisi prima saat pemiliknya kembali dari perjalanan mereka ke Tokyo.

Jay dan Valent sendiri sudah berjalan masuk ke dalam lobi resor yang mewah. Valent sedikit tersenyum, merasa sedikit lebih baik setelah angin malam menerpa wajahnya.

“Btw… Jay, kamu malam ini nginep di kamar aku yah? Jangan sewa kamar lagi, atau aku marah nanti…!” sahut Valent kepada calon suaminya itu. Ada kilatan main-main di matanya, tetapi juga sedikit harapan tulus.

Jay mengangkat sebelah alisnya, senyum mengembang di bibirnya. “Kenapa? Jangan bilang lu enggak bisa tidur kalau enggak ada yang nemenin?” balas Jay menggoda Valent dengan lembut, nadanya ringan dan menggoda. “Yang ada nanti malah enggak tidur kita, padahal jadwal kita padet… Inget gak kata Papa kamu tadi sebelum pulang…?”

Valent memutar matanya dengan nada main-main, tetapi secercah keseriusan tampak di wajahnya saat mendengar nama ayahnya. “Apanya yang bakalan kita lakuin, bodoh. Ini… yah, ini lebih baik, bukan? Kita tuh udah tunangan, Jay. Ini enggak terlalu memalukan…” Dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, merendahkan suaranya seolah-olah sedang bersekongkol. “Lagipula,” tambahnya sambil mengedipkan mata, “Enggak ada yang tahu suara-suara aneh apa yang kita buat di kamar kan? Maksud aku… Aku mungkin tidak bisa tidur! Jadi… bantu tidurin aku…!”

Jay terkekeh, menggelengkan kepalanya. “Valent, sayang, lu emang enggak bisa diperbaiki. Dan drama queen banget dah. Tapi lu tahu bokap lu pingin kita fokus menyelesaikan pernikahan… lagian…”

Senyum Jay melembut menjadi senyum tulus. Ia sangat memahami Valent. Valent bersemangat, sedikit tidak sabar, dan ingin menikmati setiap momen perjalanan pra-pernikahan mereka. Dan Jay, sejujurnya, merasakan hal yang sama. Namun, Jay juga memahami tekanan tak terucap dari calon ayah mertuanya itu, seorang pengusaha terhormat yang menghargai efisiensi dan perencanaan cermat di atas segalanya. Pernikahan mereka ini bukan hanya tentang cinta mereka; namun, dalam beberapa hal, merupakan cerminan keluarga dan masa depan mereka.

Jay mengulurkan tangan dan dengan lembut menyelipkan ikal rambut yang terurai di belakang telinganya. “Lu tau gue pingin banget… eh… ‘nidurin’ kamu sepanjang malem, Lent.” Dia menirukan godaan Valent sebelumnya, matanya berbinar.

Valent tertawa, memukul lengan Jay pelan. “Jay!” pipinya bersemu merah. “Jangan mulai deh. Kita kan baru aja nyampe…”

“Iya, iya, sabar. Gue tahu…” Jay terkekeh. Jay menarik tangan Valent dan menggenggamnya erat. “Tapi serius, lu semangat banget dari tadi. Nggak capek? Kita udah keliling seharian terus sekarang udah di sini lagi. Istirahat bentar ya? Biar kamu tetep seger.”

“Buah kali seger…! Hahaha…!” Senyum Valent mengembang lagi, kali ini lebih cerah. “Jadi, maksudmu… kamu mau nginap di kamarku?” Dia mengangkat alisnya dengan nada main-main, menolak untuk melupakan topik pembicaraan itu sepenuhnya.

Jay terbatuk kecil, sedikit tersentak dengan pertanyaan langsung Valent. Sebenarnya, dalam hati kecilnya, ide itu memang sempat melintas. Seharian ini bersama Valent terasa begitu menyenangkan dan nyaman. Ia tidak keberatan menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Tapi, mengatakan itu secara gamblang terasa sedikit… terlalu cepat? Atau mungkin, justru Valent yang sedang bercanda?

Jay tertawa, menjabat tangannya saat mereka mendekati sisi samping resor setelah konter check-in. “Maksudku, mari kita liat seberapa produktif kita besok.”

“Halah, alasan! Bilang aja kamu yang udah capek duluan. Ngaku aja, Jay.” Valent menyikut lengan Jay dengan lembut, matanya masih berbinar-binar penuh godaan.

Jay menghela napas pura-pura lelah. “Oke, oke, gue ngaku. Gue emang udah agak capek…” Jay membalas tatapan Valent, mencoba menyembunyikan sedikit harapan di balik senyumnya.

Valent menatap Jay sejenak, senyum main-mainnya perlahan mereda, digantikan dengan senyum yang lebih lembut dan tulus. “Iya, iya, aku ngerti kok. Kamu emang perhatian banget ya.” Ia kembali menaruh tangannya di atas tangan Jay yang masih menggenggamnya. Sentuhan itu terasa lebih dalam dari sebelumnya.

“Lagian,” lanjut Valent, dengan nada suara yang lebih pelan, “Enggak mungkin juga aku biarin kamu kecapekan. Kan nanti nggak ada yang nemenin aku keliling-keliling Tokyo besok.” Valent mengerlingkan mata sedikit mengembalikan nuansa main-main dalam suaranya.

Jay tersenyum lega. Ia tahu Valent hanya bercanda dan tidak benar-benar memaksanya untuk menginap di kamarnya – setidaknya, tidak secara langsung. Tapi, kejujuran dan perhatian dalam kata-katanya tadi terasa tulus dan menyenangkan. Ia merasa nyaman dan dihargai di dekat Valent.

“Nah, gitu dong,” kata Jay meremas lembut tangan Valent. “Yuk, masuk dulu?”

Valent meremas tangan Jay, suasana hatinya yang ceria kembali pulih. “Setuju. Tapi perlu kamu tahu, aku penakluk jika termotivasi dengan benar.” Dia mengedipkan mata lagi, percikan antisipasi terlihat di matanya. Saat mereka check in, Jay tidak bisa menahan senyum. Dia tahu “jadwal padat” mereka mungkin akan menjadi sedikit lebih… menarik. Dan entah bagaimana, menghadapi waktu mereka ke depan tiba-tiba tampak jauh lebih menarik.

“Lu yang minta yah… Gue enggak tanggung jawab kalau lu pegel-pegel pas flight besok…!” balasnya sambil tertawa renyah.

Valent hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum geli. “Salah sendiri siapa yang semangat banget?” godanya balik sambil mencubit gemas pipi Jay. “Lagian kamu sih, pakai acara ngalah terus. Ya aku jadi makin semangat ngalahin kamu…” lanjutnya.

Jay menyadari Valent adalah tipe orang yang kompetitif, tapi Jay lebih suka melihatnya bahagia daripada menang dalam permainan.

Jay dan Valent kemudian masuk ke dalam kamar milik Valent. Valent dengan cepat melemparkan tas miliknya ke atas kursi dan membuka heelsnya yang sudah cukup lama dia pakai untuk hari ini. Bunyi klek dari hak sepatu yang terlepas terasa melegakan di telinga Valent. Ia menghela napas lega sambil meregangkan kakinya.

Jay diam-diam menatap bagaimana cara Valent membungkuk ketika membuka heelsnya di dekat ranjang. Gaun mini dress berwarna hitam yang dikenakannya malam ini sedikit terangkat, dan terlihat bongkahan pantat yang begitu menggoda di balik kain lembut itu. Jantung Jay berdetak lebih cepat dan tentu saja Jay menelan ludah setelahnya.

Valent berdiri tegak kembali, membalikkan badan dan mendapati Jay sedang menatapnya intens. Senyum jahil langsung menghiasi bibirnya.

“Kenapa? Kayak enggak pernah liat aku pakai dress?” goda Valent sambil berkacak pinggang sengaja berpose sedikit menggoda.

Jay tersadar dari lamunannya dan berusaha bersikap biasa. “Eh, enggak… cantik kok dressnya. Cocok sama lu…”

Valent terkekeh. “Bisa aja kamu. Udah sana mandi duluan. Aku mau ganti baju dulu…”

59259238Ae5D0E70514467E.md

Jay mengangguk dan beranjak menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar Valent. Sebelum masuk, ia sempat melirik Valent sekali lagi yang kini sedang membuka resleting belakang gaunnya. Pemandangan itu kembali membuatnya menelan ludah.

Di dalam kamar mandi, Jay membasuh wajahnya dengan air dingin. Jay mencoba menenangkan dirinya yang tiba-tiba terasa bergejolak. Meskipun Jay tahu bahwa yang di depan matanya saat ini adalah calon istrinya sendiri, namun Jay masih berusaha menjaga dirinya. Mereka memang sudah pernah melakukan beberapa hal sebelumnya, seperti french kiss yang panas, foreplay yang intim, bahkan anal seks yang sekali itu terjadi karena terbawa suasana dan rasa penasaran mereka berdua. Namun, Jay masih berusaha mempertahankan apa yang ia yakini sebagai “kesucian” Valent, bukan dalam artian fisik semata, tapi lebih kepada menjaga hatinya, rasa hormatnya, dan juga menjadi bentuk tanggung jawabnya dan kepercayaan Valent kepadanya.

Jay percaya bahwa ada hal-hal yang lebih indah dan bermakna jika dilakukan setelah pernikahan. Ia ingin malam pertama mereka nanti menjadi sesuatu yang benar-benar spesial dan tak terlupakan. Ia tidak ingin terburu-buru dan merusak momentum yang ia impikan.

Lagipula, Jay juga tidak ingin Valent merasa tertekan atau terpaksa melakukan sesuatu yang belum sepenuhnya dia inginkan. Meskipun Valent terlihat menggoda dan sesekali memberikan hint, Jay tahu bahwa Valent juga masih memiliki sedikit keraguan dan kebimbangan tentang batasan-batasan dalam hubungan mereka sebelum menikah. Dan Jay menghargai itu.

Setelah mandi dan berganti pakaian dengan kaos oblong dan celana pendek, Jay keluar kamar mandi. Valent sudah berbaring di ranjang, memakai piyama tidur satin berwarna lilac. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai di bantal. Valent terlihat begitu segar dan rileks.

“Udah selesai mandinya? Giliran aku ya,” kata Valent sambil bangkit dari ranjang.

“Iya, udah. Handuknya ada di situ,” tunjuk Jay ke arah rak handuk di dalam kamar mandi.

Valent mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Sebelum masuk, ia menatap Jay lagi dan tersenyum lembut. “Kamu nggak pegal-pegel kan?”

“Enggak kok. Cuma agak capek aja. Tapi nggak separah yang kamu bilang,” jawab Jay sambil tertawa kecil.

“Bagus deh. Aku juga sebenernya capek banget. Pengen langsung tidur aja rasanya,” kata Valent sambil menguap lagi. Kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya.

Jay duduk di tepi ranjang, memandangi sekeliling kamar Valent. Kamar itu cukup luas dengan dominasi warna putih dan pink pastel. Foto-foto Valent bersama teman-temannya, keluarga, dan foto mereka berdua saat liburan terpajang di dinding dan meja nakas. Tercium aroma lavender lembut dari diffuser di sudut ruangan. Kamar ini benar-benar mencerminkan kepribadian Valent yang feminin, ceria, dan hangat.

Jay tersenyum. Ia merasa beruntung bisa memiliki Valent sebagai calon istrinya. Ia tahu bahwa Valent adalah wanita yang baik, pengertian, dan selalu bisa membuatnya merasa nyaman dan bahagia. Meskipun ia merasakan gejolak dalam dirinya saat ini, ia tetap akan berusaha menjaga komitmennya untuk menghormati Valent dan menunggu waktu yang tepat untuk benar-benar menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan yang suci.

Ia merebahkan diri di ranjang di sebelah tempat Valent tadi berbaring. Aroma parfum Valent masih tercium samar di bantal. Jay menarik napas dalam-dalam dan memejamkan matanya. Rasa kantuk mulai menyerang. Jay membayangkan wajah cantik Valent saat mereka menikah nanti. Pasti Valent akan terlihat sangat anggun dan mempesona dengan gaun pengantin putihnya.

Senyum terus menghiasi bibir Jay. Jay tidak sabar menunggu hari itu tiba. Hari di mana ia bisa sepenuhnya memiliki Valent, bukan hanya sebagai calon istri, tapi sebagai istrinya seutuhnya. Hari di mana ia tidak perlu lagi menahan diri dan bisa mengekspresikan cintanya dengan bebas dan tanpa batasan. Namun untuk saat ini, ia akan tetap bersabar dan menjaga “kesucian” Valent, sebagai bentuk cintanya yang tulus dan tanggung jawabnya sebagai seorang pria yang akan menjadi imam dalam rumah tangga mereka kelak.

CKLEK…

Namun lamunan itu hancur berkeping-keping seperti gelas yang jatuh di lantai keramik, saat pintu kamar mandi terbuka. Valent muncul, gumpalan uap yang harum mengepul di belakangnya. Sebuah handuk putih bertengger anggun di kepalanya, seperti sorban, mencoba menjinakkan rambutnya yang basah. Namun, tampaknya hanya itu batas kesopanannya.

Benar-benar telanjang bulat, Valent melangkah keluar. Kulitnya memerah karena air hangat, tetesan-tetesan menempel padanya seperti berlian-berlian kecil. Tubuhnya sudah setengah basah dengan sabun, garis-garis putih menelusuri lengannya dan… yah, di mana-mana sepanjang mata Jay melihatnya.

Jay, yang tergeletak lesu di tempat tidur hanya dengan celana pendek, membeku. Napasnya tercekat di tenggorokannya. Dia tidak menyangka ini. Sama sekali tidak. Dia mengira Valent hanya datang sebentar untuk melakukan sesuatu. Dia jelas tidak mengantisipasi striptis yang penuh aksi, tanpa pemberitahuan dan sangat mengagumkan, meskipun tidak disengaja.

Valent yang tampaknya tidak menyadari pemandangan yang sedang ia saksikan, melangkah pelan di atas ubin dingin menuju meja kecil di samping tempat tidur Jay. Fokusnya sepenuhnya tertuju pada laci. Valent membutuhkan sesuatu. Jay tidak yakin apa, pikirannya berusaha keras untuk memahami kenyataan yang terbentang di depan matanya.

Jay memperhatikan dengan penuh perhatian saat Valent berjalan tepat di depan tempat tidur, gerakannya santai dan tidak tergesa-gesa. Dan di sanalah mereka.

Jay bisa melihat kedua gunung kembar indah menjulang milik calon istrinya yang begitu menggoda seakan memanggilnya untuk memakannya.

Gunungkembar indah menjulang, terbentuk sempurna, areola kemerahannya menggoda di bawah guratan-guratan sabun putih. Gunung-gunung itu luar biasa. Gunung-gunung itu begitu memesona. Gunung-gunung itu… milik calon istrinya sendiri.

Jantung Jay berdebar kencang di tulang rusuknya, seperti ketukan drum yang panik melawan keheningan ruangan yang tiba-tiba. Ia merasakan aliran panas membanjiri wajah dan dadanya. Lamunannya yang damai sebelumnya telah digantikan oleh fantasi yang jauh lebih kuat dan langsung. Ia tidak ingin lagi hanya membayangkan Valent berjalan menyusuri lorong. Jay menginginkan… ini. Jay ingin mengulurkan tangan, menyentuh, mencicipinya.

Valent meraih meja samping tempat tidur dan membuka laci. Masih sama sekali tidak menyadari tatapan mata Jay yang terbelalak, dia mengobrak-abrik isinya. Jay kini bisa melihat punggungnya, sama menakjubkannya. Lekuk tulang belakangnya yang lembut, lekukan pinggangnya yang halus, mengarah ke pinggulnya yang menggoda, juga dipenuhi busa sabun yang berserakan.

Jay menelan ludah karena tenggorokannya tiba-tiba kering. Jay berusaha keras untuk tampak acuh tak acuh, untuk menata ulang dirinya di tempat tidur dengan cara yang tidak akan mengkhianati reaksi langsung dan sangat mendalam yang sedang dialaminya.

Valent akhirnya menemukan apa yang dicarinya sebotol kecil lotion. “(Ah, ini dia)” gumamnya pada dirinya sendiri, sama sekali tidak menyadari gejolak batin yang meletus dalam diri Jay. Ia berbalik kembali ke kamar mandi, botol itu tergenggam erat di tangannya.

Dan kemudian akhirnya, matanya bertemu dengan mata Jay.

Selama sepersekian detik, hanya ada kekosongan. Kemudian, kesadaran muncul, matanya yang cokelat melebar. Pipinya perlahan memerah, bahkan lebih terang dari rona setelah mandi, merayapi leher dan pipinya. Mulutnya membentuk huruf ‘O’ karena terkejut. Botol lotion hampir terlepas dari tangannya yang bersabun.

“Oh…” hanya itu yang bisa dia bisikkan, suaranya nyaris tak terdengar.

Waktu seakan berhenti. Jay merasakan rona merah di wajahnya sendiri seperti rona merah di wajah wanita itu. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, apa saja, untuk memecah keheningan yang canggung, tetapi tidak ada kata yang keluar. Ia hanya menatap balik wanita itu, terperangkap dalam sorotan mata wanita itu yang terkejut.

Tangan Valent secara naluriah menyentuh dadanya, bukan untuk menutupi tubuhnya secara menyeluruh, tetapi lebih seperti dia baru menyadari, pada saat itu, bahwa dia… yah, terekspos. Handuk di kepalanya tiba-tiba tampak sangat tidak memadai.

Senyuman kecil ragu-ragu muncul di sudut bibirnya. Senyuman gugup, senyum sedikit malu, tetapi di balik itu, Jay merasa ia mendeteksi sesuatu yang lain. Sesuatu… yang menyenangkan?

Dia menurunkan tangannya sedikit, rona merah di wajahnya semakin dalam. Namun, matanya tidak lepas dari tatapan Jay. Dan di kedalaman yang gelap dan berkilau itu, Jay melihat jenis undangan yang berbeda. Bukan panggilan payudaranya yang sunyi dan sensual seperti yang dibayangkannya, tetapi undangan yang nyata, hidup, dan bernapas dalam tatapannya.

Ketegangan di ruangan itu, yang sebelumnya terasa kental dan canggung, mulai berubah, secara halus, hampir tak terasa, menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda. Sesuatu yang bermuatan, elektrik, dan sangat menggairahkan.

Valent melangkah kecil hampir tak terlihat, ke arahnya dan botol lotion masih tergenggam di tangannya. Senyumnya melebar menjadi seringai lebar dan berseri-seri.

“Apa kamu… butuh sesuatu, Jay?” tanyanya suaranya kini berbisik pelan dan parau, masih sedikit terengah-engah karena keterkejutannya atau mungkin sesuatu yang lain sama sekali. Pertanyaan itu menggantung di udara di antara mereka, sarat dengan kemungkinan yang tak terucapkan.

Jay akhirnya menemukan suaranya, sedikit lebih kasar dari yang diinginkannya. “Hanya mengagumipemandangan aja kok, Lent,” katanya matanya masih menatap Valent dan jantungnya masih berdebar kencang. Lamunan itu benar-benar berakhir. Dan kenyataan, tampaknya, terbukti jauh lebih menarik.

Itu bukan pertama kalinya Jay melihat Valent dalam keadaan kurang berpakaian, tapi entah kenapa kali ini terasa berbeda. Mungkin karena mereka sendirian, mungkin karena tatapan mata Valent yang seolah menyimpan rahasia, atau mungkin karena Jay sendiri merasa lebih berani dari biasanya.

Keheningan itu, alih-alih canggung, terasa nyaman. Namun, Jay merasakan gelombang keberanian yang tidak biasa, sesuatu yang mendorongnya untuk berbicara, untuk memecah batas antara angan dan kenyataan yang mulai terasa terlalu menggoda.

“Pemandangannya cantik, ya?” gumam Valent, memecah keheningan yang terasa menyenangkan itu. Suaranya lembut hampir berbisik namun mampu mencapai setiap sudut ruangan dan setiap sudut hati Jay.

Jay mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada siluet Valent yang diterpa cahaya senja. Lengkung lehernya, bahunya yang bidang, garis pinggangnya yang ramping, semuanya tampak begitu indah, begitu nyata, dan begitu membangkitkan hasrat.

Valent tersenyum kepada Jay sambil sedikit berusaha menggodanya dengan meremas salah satu gunung kembar miliknya itu dan berkata, “Kamu mau ini…? Aku tunggu di kamar mandi kalau kamu mau, hihihihi…!”

Detak jantung Jay semakin menggila. Pipinya terasa panas. Dia menelan ludah, matanya terpaku pada Valent yang kini menantangnya dengan senyum dan tatapan yang begitu menggoda. Kenyataan, memang, jauh lebih menarik dan jauh lebih mendebarkan dari lamunan manapun. Semuanya tergantung padanya sekarang, apakah dia akan cukup berani untuk melangkah melewati batas kenyamanan dan menerima tawaran yang begitu jelas terpampang di depannya.

Siluet Valent memenuhi pintu untuk sesaat sebelum dia melangkah masuk ke ruangan. Tubuh Jay bereaksi dengan cepat, membuatnya tersentak ke dalam kesadaran yang tajam. Seolah-olah keberadaannya selaras dengan kehadirannya, respons kejantanannya yang tidak dapat dan mungkin, tidak benar-benar ingin dia kendalikan.

Valent melangkah perlahan ke dalam kamar mandi, setiap langkah terukur, setiap gerakan dipenuhi dengan keanggunan yang halus dan penuh pengertian. Dia tidak terburu-buru, tidak langsung berbicara, membiarkan keheningan meluas, penuh dengan antisipasi yang tak terucapkan. Saat dia melangkah lebih jauh, dia memiringkan kepalanya, matanya melirik kembali ke arah Jay, sekilas, hampir nakal yang diselingi kedipan mata. Itu adalah percikan, tantangan main-main yang dilemparkan ke seluruh ruangan, menantang ketenangan dirinya, menggoda fondasi tekadnya.

Jay mengamatinya, menjadi pengamat yang diam dan terperangkap dalam drama yang sedang berlangsung saat ia masuk. Punggungnya membelakanginya, memperlihatkan kulitnya yang halus. Dengan setiap langkah, goyangan pinggulnya yang lembut menjadi lebih jelas, irama yang alami dan tidak dipaksakan, tetapi tetap memikat. Itu adalah tarian sugesti, bahasa diam yang diucapkan melalui gerakan.

Kemudian, dia berbalik sepenuhnya, bibirnya melengkung membentuk senyum yang lambat dan memikat. Matanya yang gelap dan berkilauan, menatap tajam ke arah pria itu, menahannya dalam tarikan magnetisnya. Itu bukan sekadar senyum; itu adalah undangan, janji bisikan yang dibisikkan ke seluruh ruangan, mendesaknya untuk melepaskan pengekangannya, untuk menyerah pada hasrat yang menggelora dalam dirinya.

Setiap elemen diperhitungkan, setiap gerakan disengaja, dirancang untuk menghancurkan pertahanan Jay. Punggung yang terbuka, goyangan yang berirama, senyum yang menghipnotis, masing-masing adalah sapuan kuas dalam mahakarya godaan. Valent sedang melukis gambar dosa, dan Jay adalah kanvasnya, indranya geli, keinginannya mulai terurai di tepinya. Kedamaian itu telah hancur, digantikan oleh gelombang pasang sesuatu yang jauh lebih rumit, jauh lebih berbahaya, dan tidak dapat disangkal, jauh lebih mendebarkan. Dia berbaring di sana terpaku, terperangkap di antara bisikan hati nuraninya dan panggilan sirene tarian Valent yang menggoda, bertanya-tanya berapa lama dinding pengekangan yang dibangunnya dengan hati-hati dapat menahan serangan yang disengaja dan memabukkan ini.

Jay terhipnotis untuk kembali bangun dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi tempat Valent berada di dalamnya. Suara shower terdengar menyala dan suara Valent bersenandung terlihat sedang menikmati mandi malamnya itu.

Jay memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar mandi Valent, “Tok… Tok…”

Senandung Valent terhenti. Suara air shower juga mereda lalu mati total. Keheningan sesaat menyelimuti, hanya desiran jantung Jay yang terdengar jelas di telinganya sendiri.

Pintu terbuka perlahan, dan Valent muncul di balik pintu. Rambut panjangnya basah dan menempel di bahu, beberapa helai jatuh ke dahinya. Busa sabun masih menempel di leher dan pundaknya yang mulus. Valent dengan bahunya dan sebagian dadanya terlihat jelas. Mata Jay terpaku pada kulit Valent yang berkilau basah dan aroma sabun yang menguar semakin kuat menusuk hidungnya.

Valent tersenyum lebar, senyum yang sangat manis namun menyimpan sesuatu yang menggoda di dalamnya. “Mau mandi lagi, Jay?” tanyanya dengan nada suara yang ringan dan penuh canda.

Mata Valent kemudian turun, menyapu tubuh Jay dari atas ke bawah. Ia berhenti cukup lama di bagian bawah celana pendek Jay yang terlihat menegang dan membentuk tonjolan yang kentara. Senyum Valent semakin lebar, bibirnya sedikit terbuka, matanya berkilat nakal.

Jay hanya bisa berdiri terpaku, pikirannya masih berkabut dan bingung. Ia tidak mengerti mengapa ia berada di sini, di depan kamar mandi Valent, di tengah malam seperti ini. Namun, satu hal yang jelas terasa adalah debaran jantungnya yang semakin menggila dan sensasi aneh yang menjalar dari perutnya ke seluruh tubuhnya.

“Kamu tahu kan, Jay…” bisik Valent suaranya berubah menjadi lebih dalam dan menggoda. Ia melangkah maju, mendekati Jay, dan aroma sabunnya semakin memabukkan. “Mandi bersamaku bisa jadi lebih menyenangkan dari mandi sendiri…”

Valent mengangkat tangannya yang masih sedikit bersabun dan menyentuh dada Jay, tepat di atas jantungnya yang berdetak kencang. Jejak busa sabun itu meninggalkan aroma yang manis di kulit Jay. Sentuhan lembut itu terasa membakar di kulit Jay, mengirimkan gelombang kejutan yang aneh namun menyenangkan.

Jay menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia ingin bicara, ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi, namun suaranya tercekat. Ia hanya bisa menatap mata Valent yang penuh dengan godaan dan kehangatan kamar mandi yang menyelimuti mereka berdua.

“Kamu sudah terkena jebakanku, Sayang,” bisik Valent lagi, bibirnya kini sangat dekat dengan telinga Jay. “Kamu tidak bisa menolak, kan?”

Valent menarik Jay masuk ke dalam kamar mandi. Pintu tertutup perlahan di belakang mereka, meninggalkan kegelapan lorong dan membawa Jay masuk ke dalam dunia Valent yang penuh dengan aroma sabun, uap hangat, dan godaan yang memabukkan. Jay tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia merasa, dalam kebingungannya, ia tidak ingin berada di tempat lain selain di sana, bersama Valent. Kamar mandi itu, jebakan itu, terasa begitu memikat, dan dalam kondisi terhipnotisnya, ia pasrah pada arus yang membawanya masuk lebih dalam.

“Jay?” panggil Valent pelan, suaranya hampir berbisik.

Valent melangkah mendekat, menutup pintu kamar mandi dengan perlahan di belakangnya. Suara klik pintu tertutup terasa menggema di keheningan ruangan yang hanya diisi suara gemericik air dari keran wastafel yang menetes. Valent terus mendekat, langkahnya semakin pelan dan hati-hati, seolah takut merusak momen yang tiba-tiba terasa begitu intim ini.

Valent berhenti tepat di depan Jay. Tanpa ragu, kedua tangannya terangkat, menangkup wajah Jay dengan lembut. Jemari Valent menyentuh kulit wajah Jay yang terasa hangat dan sedikit lembap karena uap. Valent menatap mata Jay dalam-dalam, mencari izin dan jawaban di sana.

Mata Jay memancarkan kebingungan, namun tidak menolak. Justru, ada sedikit kerinduan yang mulai muncul di sana, membuat jantung Valent semakin berpacu.

Perlahan, sangat perlahan, Valent menurunkan wajahnya. Ia bisa merasakan napas Jay yang terengah-engah di wajahnya. Bibirnya hampir menyentuh bibir Jay, namun ia berhenti sejenak, memberikan Jay kesempatan terakhir untuk menolak.

Jay tidak bergerak. Matanya terpejam perlahan, seolah menyerahkan diri sepenuhnya pada apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

Valent mengerti isyarat itu. Bibirnya bertemu dengan bibir Jay dalam ciuman pertama yang lembut dan ragu-ragu. Sentuhan bibir mereka terasa seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuh Valent. Ciuman itu semakin dalam dan dalam, berubah menjadi lebih berani dan penuh gairah seiring waktu.

Valent melepaskan ciumannya di wajah Jay, membiarkan tangannya meluncur turun ke leher Jay, lalu ke bahunya. Ia menarik Jay lebih dekat, merasakan tubuh mereka menempel erat. Ciuman mereka semakin panas dan dalam, melupakan segala keraguan dan kebingungan yang sempat ada.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Valent melepaskan ciumannya, sedikit terengah-engah. Ia menatap wajah Jay yang kini merona merah, mata yang sedikit sayu, dan bibir yang sedikit bengkak akibat ciuman mereka. Valent tersenyum lembut, mengusap pipi Jay dengan ibu jarinya.

“Lu… ehm…” Jay mencoba berbicara, namun suaranya sedikit serak. “Lu tiba-tiba banget…”

Valent terkekeh pelan. “Iya? Maaf kalau ngejutin kamu…”

“Enggak… bukan gitu…” Jay menggeleng kecil, pandangannya beralih ke lantai sejenak sebelum kembali menatap Valent. “Aku… aku suka.”

Senyum Valent melebar mendengar pengakuan jujur Jay. Ia kembali mendekatkan wajahnya, mengecup bibir Jay sekali lagi dengan lembut sebelum kemudian mulai menjelajahi kulit tubuh Jay.

Di dalam kamar mandi itu, Valent kemudian mencium setiap jengkal kulit tubuh Jay berlahan sambil berjongkok. Ia memulai dari leher, turun ke dada, perut, pinggang, hingga akhirnya berhenti di kaki Jay, semua dilakukannya dengan penuh kelembutan dan ketelitian, seolah sedang mengagumi sebuah karya seni. Setiap ciuman yang ia berikan, selalu diselingi dengan bisikan-bisikan pujian dan kalimat sayang yang membuat jantung Jay berdegup semakin kencang.

Sampai akhirnya, Valent mendapatkan apa yang menjadi titik fokusnya sebelumnya, yaitu celana pendek Jay. Napas Valent tercekat. Ia meneguk ludah, menatap Jay yang kini hanya bisa memejamkan matanya, wajahnya semakin memerah.

Valent tanpa ragu menurunkan celana pendek milik Jay dan seketika tonjolan yang bersembunyi di baliknya mencuat keluar dengan gagahnya. Valent menelan liurnya sekali lagi, matanya terpaku pada pemandangan di hadapannya.

“Ini dia…! Gede banget punya kamu sih… Aku suka, Jay…! Kamu enggak tau kan, setiap ngebayangin kamu pasti aku ngebayangin punya kamu ini terus loh…!” Valent berbisik penuh kekaguman, suaranya terdengar serak dan penuh gairah. Ia mengangkat wajahnya, menatap Jay sekali lagi, matanya memancarkan rasa cinta dan hasrat yang membara.

Jay membuka matanya perlahan, menatap Valent dengan malu-malu namun juga penuh rasa penasaran. Ia sedikit menggigit bibir bawahnya, menunggu apa yang akan Valent lakukan selanjutnya. Uap kamar mandi semakin tebal, menyelimuti mereka berdua dalam keintiman yang semakin dalam. Di dalam kamar mandi yang sunyi itu, hanya ada mereka berdua, hasrat yang membara, dan sebuah malam yang panjang.

Valent memberanikan dirinya menggenggam batang kontol milik Jay dengan telapak tangannya yang sedikit bersabun dan mencoba mengocoknya perlahan.

Creepp… Creepp… Creepp… Creepp…

Jay menikmati setiap sentuhan dari calon istrinya itu. Ia menatap Valent yang berlutut di depannya, matanya terpaku pada tonjolan miliknya. Ia melihat rasa gugup, penasaran, dan sedikit keinginan yang terpancar dari mata gadis itu. Pemandangan itu membuatnya semakin bergairah.

Valent semakin berani. Ia mempercepat gerakan tangannya, mengocok lebih cepat dan lebih kuat. Suara kocokan itu terdengar semakin menggema di dalam kamar mandi. Valent merasakan tonjolan itu semakin keras dan membesar di dalam genggamannya. Napasnya mulai memburu, jantungnya berpacu semakin cepat. Pandangan matanya tidak bisa lepas dari tonjolan itu, seolah terhipnotis oleh bentuk dan sensasi yang ia rasakan.

Di tengah uap dan aroma sabun, di bawah tatapan mata Jay yang penuh gairah, Valent terus mengocok, menjelajahi sensasi baru yang membangkitkan hasrat di dalam dirinya.

Valent mengigit bibir bawahnya, “Boleh… boleh aku…?” Valent bertanya dengan suara hampir berbisik, keraguan masih terasa dalam setiap katanya.

Jay tersenyum mengangguk mengerti dengan permintaan calon istrinya tersebut. Ia tahu pasti apa yang ada di benak calon istrinya itu. Jay sudah lama memperhatikan tatapan penasaran Valent ketika mereka berdua telanjang, bagaimana matanya kadang-kadang melirik ke bagian tubuhnya yang paling maskulin itu dengan campuran antara rasa ingin tahu dan malu-malu. Jay mengerti, dan ia ingin Valent merasa nyaman dan berani mengeksplorasi keingintahuannya. Ini adalah tentang membangun kepercayaan dan keintiman dalam hubungan mereka, bukan hanya sekadar kepuasan fisik semata.

“Boleh apa, Sayang?” bisik Jay suaranya dalam dan menenangkan. Jay dengan sengaja memancing Valent untuk mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata. Jay ingin Valent merasa didengar dan dihargai.

Valent memberanikan diri mengangkat kepalanya, menatap mata coklat Jay yang selalu membuatnya merasa aman dan dicintai. Keraguan masih terpancar dari matanya, namun kali ini ada sedikit keberanian yang mulai muncul.

“Boleh aku… mencoba… itu?” Akhirnya kata-kata itu keluar juga, meskipun masih terdengar sangat malu-malu. Valent menunjuk dengan tatapan matanya, tanpa perlu kata-kata lebih lanjut, Jay sudah mengerti sepenuhnya.

Senyum Jay semakin lebar, namun kali ini senyuman penuh pengertian dan dukungan. Jay mengangguk pelan, mengiyakan permintaan Valent tanpa keraguan sedikit pun. Jay tidak menyangka Valent akan seberani ini, setidaknya untuk mengutarakan keinginannya. Ini adalah langkah besar bagi Valent, dan Jay sangat menghargainya.

“Tentu saja, Sayang. Apapun yang kamu inginkan,” jawab Jay dengan suara lembut, sambil mengusap pipi Valent dengan ibu jarinya. Jay tahu ini adalah momen penting bagi mereka berdua, momen untuk menjelajahi keintiman dengan cara yang baru dan lebih dalam.

Jay menyalakan kembali keran shower, membiarkan air hangat kembali membasahi tubuh dan membilas sisa sabun pada tubuh Valent. Jay membiarkan Valent memimpin, memberikan ruang dan waktu baginya untuk merasa nyaman. Ia tidak ingin memaksakan atau terburu-buru. Ini adalah tentang Valent, tentang keinginannya, dan tentang bagaimana mereka berdua bisa saling menikmati momen ini bersama.

Valent perlahan mendekatkan wajahnya ke tonjolan Jay yang sudah lama menarik perhatiannya. Jantungnya berdegup kencang, campuran antara gugup, penasaran, dan sedikit rasa malu masih menyelimuti dirinya. Namun, tatapan Jay yang penuh cinta dan dukungan membuatnya merasa lebih berani.

Shhhhhh… Shhhhhh… Shhhhhh… Shhhhhh…

Suara air hangat menerpa tubuh mereka berdua dan dengan gerakan yang masih ragu-ragu, Valent membuka mulutnya dan perlahan mengulum milik Jay. Sentuhan pertama itu membuatnya sedikit terkejut, namun rasa ingin tahu dan sensasi baru yang dirasakannya dengan cepat mengalahkan keraguannya. Ia mulai bergerak perlahan, meniru apa yang pernah ia lihat di film atau baca di buku, sambil sesekali menjilati permukaan kulit Jay dengan lidahnya.

“Mmmph… Slrppp… Slrppp… Slrppp… Mmm… Mhaaah… Mmm… Slrppp…”

Suara-suara kecil keluar dari mulut Valent, bercampur dengan desahan napasnya. Ia merasakan sensasi yang menggelitik dan menyenangkan, berbeda dari apa pun yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Mata Jay terpejam, ekspresinya menunjukkan kenikmatan yang luar biasa.

“Mmm… Mhaaah… Mmm… Slrppp…” Valent semakin berani, gerakannya menjadi lebih lancar dan penuh percaya diri. Ia merasakan tubuh Jay menegang di bawah sentuhannya, dan ia tahu bahwa Jay juga menikmati apa yang sedang terjadi. Kehangatan air shower, sentuhan kulit mereka, dan sensasi baru yang mereka rasakan bersama, menciptakan suasana yang penuh gairah dan keintiman. Di bawah pancuran air hangat, di tengah suara gemericik yang menenangkan, Valent dan Jay menjelajahi batas-batas keintiman mereka, membangun fondasi hubungan yang lebih dalam dan penuh cinta.

Jay menggerakkan tangannya, dengan lembut menyusuri rambut Valent yang kini gelap dan basah, tetesan air berkilau di antara helai-helainya. Gerakannya lambat dan penuh kasih sayang, sebuah kontras yang menenangkan dengan gairah yang membara di antara mereka. Valent mendongak sedikit, mata gelapnya mendung oleh keinginan, bibirnya sedikit terbuka.

Di bawah siraman air yang hangat, Valent dengan perlahan dan penuh perhatian mengulum kejantanan Jay. Setiap gerakan lidahnya, setiap isapan lembut, mengirimkan gelombang kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuh Jay. Ia merasakan kulitnya meremang, napasnya tercekat di tenggorokan. Bukan hanya sensasi fisik yang dirasakannya, tetapi juga rasa dekat, rasa percaya, dan rasa menyerah pada momen ini.

Tangan Jay di rambut Valent bergerak sedikit lebih cepat, jemarinya sedikit mencengkeram, bukan karena kasar, tetapi karena intensitas yang kian meningkat. Kepala Valent bergerak naik turun dengan ritme yang menggoda, matanya sesekali bertemu dengan mata Jay, seolah mencari konfirmasi, mencari rasa yang sama yang membara di dalam dirinya.

Suara air pancuran menjadi latar belakang bagi suara napas mereka yang mulai tersengal dan desahan kecil yang lolos dari bibir. Uap semakin tebal, seolah menyelimuti mereka dalam gelembung privasi di tengah dunia yang berputar.

Valent mengambil jeda sejenak, mengangkat kepalanya dari kejantanan Jay, dan menyandarkan dahinya ke dadanya. Nafasnya terasa hangat di kulit Jay yang basah. Jay merasakan jantungnya berdebar kencang di dadanya.

“Lu tau gimana cara ngebuat gue gila…” bisik Jay, suaranya serak dan rendah.

Valent tersenyum kecil, senyuman nakal yang membuat mata gelapnya semakin berkilau. “Itu memang tujuanku…” balasnya, suaranya hampir tak terdengar di balik suara air.

Kemudian, tanpa kata, Valent kembali melanjutkan aksinya. Kali ini, ada sedikit perubahan dalam ritme dan intensitas. Gerakannya menjadi lebih mantap, lebih dalam, dan lebih berani. Jay mencondongkan kepalanya ke belakang, matanya terpejam, menikmati setiap sensasi yang membanjirinya.

Air hangat terus mengalir, membersihkan dan memurnikan, namun juga menjadi saksi bisu dari keintiman suci yang tercipta di antara mereka. Dalam kehangatan pancuran dan sentuhan penuh gairah, Jay dan Valent menemukan ruang mereka sendiri, tempat di mana hanya ada sensasi, rasa saling memiliki, dan cinta yang tak terucapkan namun terasa begitu nyata. Momen ini, di bawah pancuran air hangat, terukir dalam ingatan mereka sebagai permulaan dari malam panjang yang penuh gairah dan keintiman.

“Mmm… Mhaaah… Mmm… Slrppp…”

Tak lama berselang, Jay memegangi kepala Valent dan mengerang cukup keras dan menembakkan peluru miliknya di dalam rongga mulut Valent.

Inshot_20250308_06333416775775B66F0E99F18.Gif

Crooottt… Crooottt… Crooottt…

Suara erangan puas itu menggema di dalam kamar mandi Valent dan Valent berusaha bertahan dengan semburan demi semburan peluru milik Jay di dalam mulutnya saat ini. Namun Jay kemudian menarik keluar dari dalam rongga mulutnya dan menembakkan sisanya tepat mendarat di atas permukaan kulit wajah Valent yang berkilau tersebut.

Marina Aoyama 20C65A8Bd225B31Bd5.Md

Crooottt… Crooottt… Crooottt…

“Mmmmph…!” Valent hanya bisa menutup matanya dan menunggu Jay selesai menembakkan sperma miliknya itu.

Setelah beberapa saat, Valent mencoba membuka matanya dan melihat Jay terus mengurut batang kontolnya dan membuat Valent ingin membuka rongga mulutnya dan menjulurkan lidahnya untuk membantu Jay membersihkan bekas sperma miliknya tersebut.

“Sini aku bersihin, Jay…! Mmmph… Slrppp… Slrppp… Slrppp… Mmmm… Mmmh…” Valent tanpa ragu membantu Jay menjilati kontolnya sampai bersih sebelum akhirnya Jay membangunkan Valent dan mengangkat dagu Valent untuk bisa menatapnya dengan sempurna.

“…..”

Keduanya terdiam sejenak…

“Makasih ya…!” balas Jay kepada Valent yang sudah memberikan servis terbaiknya di dalam kamar mandi tersebut meskipun tubuh mereka terus terguyur air hangat dari shower tersebut.

“Sama-sama, Jay. Kamu tahu kan, aku selalu seneng kalau bisa deket sama kamu…” Suara Valent terdengar dalam dan menenangkan, seperti musik yang merdu di telinga Jay.

“Tapi ini… lebih dari sekadar deket. Lu… Lu selalu tahu apa yang gue butuhin…” kata Jay lagi, kali ini suaranya sedikit bergetar. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di dada Valent. Kehangatan tubuh Valent, aroma sabun lavender, dan sentuhan lembut pria itu, semuanya terasa begitu sempurna.

Valent memeluk Jay semakin erat. “Aku sayang kamu, Jay. Dan melihat kamu bahagia itu… itu kebahagiaan aku juga.”

Jay semakin mengeratkan pelukannya. Ia tidak menjawab. Di tengah gemericik air shower yang menenangkan, di dalam pelukan hangat Valent, Jay merasa semua beban hari itu perlahan menghilang. “Servis terbaik” dari Valent bukan hanya sekadar mandi, tapi kasih sayang, perhatian. Dan itu… jauh lebih berharga dari apapun.

Setelah beberapa saat berpelukan dalam diam, Valent melepaskan pelukannya sedikit. “Sudah enakan?” tanyanya lembut.

Jay mengangguk pelan. “Banget. Makasih, Lent…”

Valent tersenyum lagi, senyum yang selalu membuat hati Jay menghangat. “Sekarang giliran aku yang kamu ‘servis’ balik dong…” goda Valent sambil mengedipkan sebelah matanya.

Jay tertawa kecil, rasa tegangnya sudah benar-benar hilang digantikan kehangatan dan kelembutan Valent. Ia menatap Valent dengan mata yang penuh cinta. “Dengan senang hati…” jawab Jay sambil membalas pelukan Valent dan membiarkan air hangat shower terus mengguyur mereka, membersihkan bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa mereka.

Jay mengangkat tubuh Valent dan mendudukkannya di atas toilet duduk sambil membuka kaki Valent lebar. Jay melihat sedikit bulu tumbuh di atas permukaan kulit memek Valent tersebut.

“Jay, apaan sih?” protes Valent sambil tertawa, tapi ia tak menolak ketika Jay mendudukkannya di atas permukaan porselen toilet duduk yang dingin.

Jay berdiri di antara kaki Valent yang terbuka lebar, kedua tangannya memegang pinggang Valent, menstabilkannya. Kepalanya sedikit menunduk, pandangannya terarah ke bawah, ke area pribadi Valent yang kini terbuka jelas di hadapannya. Lampu kamar mandi yang terang menyinari kulit mulus paha dalam Valent. Di antara kedua lipatan paha itu, terlihat sedikit kumpulan rambut halus, berwarna lebih gelap dari kulit Valent. Bulu-bulu itu pendek, baru tumbuh beberapa milimeter, seperti beludru lembut yang menempel di kulit.

Marina Aoyama 1823Ba5Bca4Ac5D83F.md

Jay menegakkan tubuh, senyum jahil bermain di bibirnya. “Lu kalau cukur botak…” Jay berhenti sejenak, sengaja menggantungkan kalimatnya, membuat Valent penasaran. Mata Jay menatap Valent intens, dengan kilatan nakal yang kentara. “Cakep gila, Lent…!”

Mata Valent melebar, terkejut sekaligus geli mendengar celetukan spontan Jay. Pipi Valent merona merah, malu sekaligus merasa tersanjung. Ia tahu Jay memang suka menggodanya, tapi kali ini godaannya terasa lebih… pribadi. Valent tahu Jay tidak bermaksud kasar atau merendahkannya. Justru sebaliknya, Jay seolah sedang mengungkapkan kekagumannya dengan cara yang sedikit nakal.

“Hihihi… gombal…” Valent menutupi mulutnya dengan telapak tangan, mencoba menyembunyikan senyumnya yang semakin lebar. Mata Valent berbinar-binar menatap Jay. Ia suka cara Jay memujinya, bahkan untuk hal-hal sekecil dan sepribadi ini. Valent menurunkan tangannya, menantang Jay dengan tatapan mata yang penuh permainan. “Emang kamu mau cukurin aku…?” tanya Valent mengembalikan bola panas itu kepada Jay.

Jay terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan balasan Valent yang tak kalah nakal. Ia tidak menyangka Valent akan membalikkan godaannya menjadi tawaran yang lebih jauh. Mata Jay menatap Valent, kali ini dengan pandangan yang lebih dalam, lebih serius. Nakal di matanya perlahan berubah menjadi ketertarikan yang jelas. Jay memperhatikan wajah Valent yang memerah, bibirnya yang sedikit terbuka, dan mata berbinarnya yang menantangnya.

Jay menelan ludah. Ide untuk mencukur bulu kemaluan Valent tiba-tiba terdengar sangat menarik, bahkan menggairahkan. Bayangan kulit mulus Valent yang botak terlintas di benaknya, dan Jay harus mengakui, pikirannya itu membuatnya sedikit… panas.

“Boleh juga ide lu…” jawab Jay akhirnya, suaranya terdengar sedikit serak. Senyum nakalnya kembali mengembang, kali ini dengan sentuhan rasa penasaran dan sedikit keberanian. “Kalau lu berani…”

Valent tertawa lagi, tawanya lebih lepas dan menggoda. “Berani lah… Siapa takut…?” Valent mengangkat dagunya, menantang Jay dengan penuh percaya diri. “Tapi kamu harus janji… harus hati-hati… dan… jangan sampai ada yang luka…”

Jay mendekatkan wajahnya ke wajah Valent, membisik di telinga Valent dengan suara rendah dan menggoda. “Tenang aja, Lent… gue bakalan sangat hati-hati… dan… gue jamin, lu bakalan suka sama hasilnya…”

Suara air dari keran yang menetes di wastafel menjadi satu-satunya suara di kamar mandi kecil itu, selain napas mereka yang mulai memburu. Tantangan itu menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang menyenangkan dan menggairahkan. Pertanyaan apakah Jay akan benar-benar mencukur Valent dan apa yang akan terjadi setelahnya, kini menjadi fokus utama di antara mereka. Dan keduanya tahu, permainan ini baru saja dimulai.

Valent membuka lebar kakinya dan dengan sengaja mengusap bibir memeknya perlahan di depan Jay, “Meskipun aku masih perawan… rasanya dicukurin orang lain tuh kedengerannya aneh tapi… aku pingin nyoba… Kamu bisa ngeliat memek aku sebagai gantinya pas nyukurin aku, gimana?”

592603976D366D3Bfb119F6.Md

Mata Valent yang berbinar, dan tawaran yang tak terduga itu membuatnya merasa terkejut sekaligus tertarik. Senyum puas perlahan merekah di bibirnya. Ini lebih dari yang dia bayangkan. Jay tersenyum puas dan perlahan, “Deal…!” suaranya mantap dan penuh antusiasme. Dia mendekat, langkahnya ringan namun penuh penantian.

Valent tersenyum lega dan sedikit gugup. Dia meraih tas makeup berwarna pink pastel yang terletak di dekat dudukan toilet. Dari dalamnya, dia mengeluarkan sebuah pisau cukur wanita berwarna senada. Pisau cukur itu tampak baru dan bersih.

“Pake punyaku ini…” Valent menyodorkan pisau cukur itu ke Jay. “Janji cukurin yang rapi biar kamu sendiri seneng ngeliatnya…!” Ada nada menggoda dalam suaranya, bercampur dengan sedikit rasa malu yang berusaha dia sembunyikan.

Jay menerima pisau cukur itu dengan hati-hati. Sentuhan plastik halus di tangannya terasa sedikit menggelitik. Dia memperhatikan pisau cukur itu sejenak, lalu kembali menatap Valent yang kini menantinya dengan sabar.

“Lu yakin?” tanya Jay memastikan kembali. Dia tidak ingin Valent merasa terpaksa atau menyesal nantinya.

Valent mengangguk mantap. “Yakin. Aku penasaran aja… dan sama kamu, aku… aku percaya.” Mata mereka bertemu, dan Jay bisa melihat kejujuran dan kepercayaan di mata Valent.

Jay mengangguk mengerti. Jay berlutut di depan Valent, posisinya lebih rendah dari Valent yang duduk. Ini adalah posisi yang intim, posisi yang penuh kerentanan.

Valent sedikit menegangkan tubuhnya saat Jay mendekat. Dia bisa merasakan napas Jay di kakinya. Jay membuka tutup pisau cukur dengan hati-hati. Cahaya lampu kamar mandi memantul dari bilah pisau yang tajam.

“Oke siap?” tanya Jay, suaranya lembut.

Valent menarik napas dalam-dalam dan mengangguk kecil. “Siap…” bisiknya.

Jay memulai dengan hati-hati. Dia menyemprotkan sedikit air dari botol semprot di dekat bak mandi ke area yang akan dicukur, membasahi rambut-rambut halus di sekitar area kewanitaan Valent. Kemudian dia mengoleskan sedikit sabun mandi cair sebagai pengganti krim cukur, mengusapkannya dengan lembut hingga berbusa tipis.

Valent sedikit meringis geli saat sentuhan dingin air dan busa sabun menyentuh kulitnya. Jay melakukannya dengan sangat hati-hati, gerakan tangannya lembut dan perlahan. Dia seperti sedang menangani sesuatu yang sangat rapuh dan berharga.

Perlahan, Jay mulai menggerakkan pisau cukur. Gerakannya pendek-pendek dan hati-hati. Suara gesekan pisau cukur dengan rambut halus terdengar lirih di keheningan kamar mandi. Valent bisa merasakan tarikan ringan di kulitnya saat rambut-rambut itu terpotong. Dia menutup matanya rapat-rapat, merasakan sensasi aneh dan baru ini. Ada rasa geli, sedikit takut, tapi juga rasa penasaran yang besar.

Jay terus mencukur dengan telaten. Sesekali dia meniup lembut kulit Valent yang terasa lembab, membuat Valent sedikit berjengit geli. Dia memastikan setiap helai rambut tercukur dengan rapi, mengikuti kontur tubuh Valent dengan hati-hati.

Valent membuka sedikit matanya mengintip ke arah Jay. Dia melihat Jay sangat fokus, matanya meneliti setiap permukaannya yang dicukur. Ekspresinya serius, namun ada sedikit senyum tipis di sudut bibirnya. Tiba-tiba rasa malu Valent sedikit berkurang, digantikan dengan rasa penasaran dan sedikit kegembiraan.

Setelah selesai mencukur satu sisi, Jay mengusap area yang baru dicukur dengan handuk kecil yang sudah dia siapkan. Kulit Valent terlihat bersih dan mulus, kontras dengan area di sekitarnya yang masih ditumbuhi rambut halus.

“Gimana? Ada yang sakit?” tanya Jay, suaranya penuh perhatian.

Valent menggeleng pelan. “Nggak… cuma geli aja…” Dia menyentuh kulitnya yang baru dicukur, merasakan kelembutan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. “Rapi banget…” gumamnya kagum.

Jay tersenyum bangga. “Masih ada satu sisi lagi…”

Valent mengangguk, membiarkan Jay melanjutkan pekerjaannya. Kali ini Valent lebih rileks, bahkan sesekali dia sedikit mengangkat pinggulnya untuk memudahkan Jay menjangkau area yang sulit. Suasana di kamar mandi semakin intim. Hanya ada mereka berdua, suara pisau cukur yang lirih, dan napas mereka yang saling bersahutan.

Setelah kedua sisi selesai dicukur dengan rapi, Jay kembali membersihkan area tersebut dengan handuk basah dan mengeringkannya. Dia menatap hasil karyanya, puas. Kulit Valent terlihat bersih, mulus, dan sangat menggoda.

“Selesai…” kata Jay suaranya sedikit berbisik. Dia menyingkirkan pisau cukur dan duduk bersimpuh di depan Valent menatapnya dengan tatapan kagum.

Valent membuka lebar kakinya, memperlihatkan area pribadinya yang kini bersih dan rapi. Dia menatap Jay dengan senyum malu-malu namun penuh godaan.

“Sekarang giliran kamu…” kata Valent, suaranya bergetar sedikit. Dia mengambil pisau cukur dari tangan Jay dan menatapnya. “Aku janji, aku juga bakal cukurin kamu yang rapi, biar aku juga seneng ngeliatnya…” Dia mengedipkan matanya, dan Jay tahu bahwa ini baru permulaan dari pengalaman yang akan mereka bagi bersama.

Bersambung…

Reviews

0 %

User Score

0 ratings
Rate This

Leave your comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *