Kita Bertetangga
Cerita Dewasa Tante Terbaru
T A N T E Rosa yang tinggal di sebelah rumahku, baik sekali ia dengan istriku. Kalau ia bikin kue atau memasak, pasti ia bawa ke rumahku. Demikian pula dengan istriku. Kalau istriku memasak atau bikin kue, istriku juga bawa ke rumah Tante Rosa dan mereka juga sering pergi ke mall atau pergi belanja bersama.
Tante Rosa adalah ibu mertua dari Handi dan mama dari Faselin. Pasangan ini masih muda dan mereka mempunyai anak yang masih kecil baru berumur 2 tahun.
Tante Rosa belum berumur 50 tahun menurutku, karena ia kelihatan masih muda, sedangkan aku sudah berumur 40 tahun dan istriku berumur 38 tahun.
Kami mempunyai 2 orang anak, yang pertama sudah duduk di kelas VII SMP, sedangkan yang kedua duduk di kelas 5 SD.
Tante Rosa masih punya suami. Suaminya bekerja di luar kota, tidak jauh sih, jaraknya hanya seperti Jakarta – Bogor, tetapi ia malas pulang setiap hari. Ia tinggal di mess perusahaannya, pulang pada hari Jumat sore, balik lagi hari Senin pagi.
Aku bertetangga dengan Tante Rosa sejak Faselin masih memakai seragam putih abu-abu, tetapi tidak kusangka bakal terjadi peristiwa ini siang itu.
Tante Rosa datang ke rumahku membawa sebuah bungkusan mencari istriku, tetapi istriku pergi ke rumah orangtuanya dengan 2 anaknya menengok mamanya yang sakit.
“Apa isinya, Tan…?” tanyaku sewaktu menerima bungkusan yang terbungkus tas plastik berlogo sebuah departement store terkenal itu.
“BH…”
“??????”
“Tante dikasih sama adik Tante yang pulang dari Singapur. Celana dalamnya sih cocok, tetapi BH-nya kebesaran, Tante mau kasih sama Ika.”
“Seberapa besar sih, Tante?” tanyaku bukan ingin tau, hanya iseng saja. Sudah kelihatan kok dari luar, payudara Tante Rosa itu kecil, sedangkan payudara istriku besar, ukuran BH-nya 38.
Sewaktu ia menyusui anaknya yang pertama, ASI-nya sampai terbuang-buang, baru anak yang kedua, aku minum ASI istriku dicampur dengan sedikit kopi instan atau coklat bubuk, kadang aku hisap langsung dari tabung susunya.
“Sini, Tante buka.” kata Tante Rosa minta kembali bungkusannya, lalu ia buka di depanku bungkusan itu sambil duduk di sampingku di sofa panjang.
“Nih, besar kan?” kata Tante Rosa sambil menunjukkan BH berwarna ungu itu padaku. “Cocok untuk Ika, soalnya tetek Ika besar, kalau Tante pakai kelonggaran, soalnya Tante gak punya tetek.”
“Ah… Tante…” kataku. “Meskipun kecil, juga tetek… masa gak punya tetek sih…?” ujarku.
“He.. he… kamu mau melihat celana dalamnya nggak…?”
Tanpa menunggu jawabanku dengan gesit Tante Rosa pulang ke rumahnya.
Sebentar kemudian Tante Rosa sudah datang lagi dengan telapak tangan digenggam. Duduk lagi di sampingku, ia membentangkan dengan kedua tangannya celana dalam G-$tring berbentuk huruf T itu di depanku.
“Sudah pernah Tante pake…?” tanyaku.
“Sudah dua kali…” jawabnya enteng.
Penisku yang hanya dibungkus selember celana pendek langsung memanjang besar.
“Kecil begitu gak kelihatan semua punya Tante…?” tanyaku mulai berani malu.
“Habis gimana dong, namanya juga barang dikasih, kalau gak dipakai dibilang gak menghargai… nyelip sih dikit gak seperti pakai celana dalam biasa…”
Kata ‘nyelip’nya itu bikin penisku semakin tegang sehingga membuat aku berani memegang paha Tante Rosa yang mulus hanya tertutup celana pendek separuh.
“Kelihatan dari jalan raya, Tomi.” tegur Tante Rosa sehingga membuat aku semakin berani dan lupa bahwa Tante Rosa adalah tetanggaku. Bagaimana kalau ia melapor pada Ika, istriku.
Dan apa nikmatnya aku bercinta dengan wanita yang lebih tua 7 tahun dari Ika, sedangkan dengan Ika saja aku tidak bercinta seminggu sekali?
Tapi kuabaikan semua pertanyaan itu ingin mencari sensasi baru dari seorang wanita paruh baya jika ia mau kuajak, tentu saja.
“Di dalam saja ya, Tan…?” kataku.
“Mmmm… apa kamu gak puas dengan Ika sehingga mau sama Tante yang sudah setua gini? Ingat Tomi, kita bertetangga, bisa rusuh seperumahan ini kalau ketahuan…”
“Maaf Tante, aku khilaf gara-gara BH.”
“He.. he.. Tante pulang dulu ya mau nyiapin makan untuk Ommu.” kata Tante Rosa.
“Om ada di rumah?”
“Ada, pulang tadi malam, nanti selesai makan siang terus mau berangkat ke kantor lagi. Kapan Ika pulang?”
“Nanti sore paling, Tante…” jawabku, terus Tante Rosa beranjak pergi dari ruang tamuku meninggalkan celana dalamnya. Apakah Tante Rosa sengaja?
Sesampai di teras, tiba-tiba Tante Rosa balik lagi. “Eh.. eh… eh..” serunya. “Celana dalam Tante, sampai lupa… gara-gara kamu sih…” ujar Tante Rosa mendekat ke tempat dudukku, terus aku nekat memeluk pinggangnya hingga ia jatuh duduk di sampingku.
Ia tidak melawan, malah ia menatapku. Aku semakin nekat. Terus aku merangkul lehernya menariknya mendekat. Ia menurut saja, kemudian aku mencium bibirnya, terjadilah….
Tante Rosa tidak jadi membawa celana dalamnya pulang, melainkan ia bergumul bibir denganku dan lidahnya masih selincah lidah anak muda melawan lidahku yang melilit lidahnya, sehingga tanganku ikut masuk menyusup ke balik kaos longgar yang dipakainya mendorong BH-nya ke atas, lalu memegang dan meremas payudaranya yang memang kecil berbentuk melebar dan masih kenyal dengan puting yang kecil.
“Aaasshh… eeehhhh…” Tante Rosa melepaskan bibirnya dengan wajah bersemu merah dan bernapas tersendat-sendat.
“Kamuuu… ahhh…!” gumam Tante Rosa memukul pahaku dengan telapak tangan dan jelas ia melihat penisku yang menunjuk dari luar celana pendekku.
Lalu ia bertanya, “Apakah Ika tahan setiap malam, begitu besar ihhh…? Apa nggak bonyok lubang sekecil itu? Kalau Tante sih gak berani, melihat dari luar aja sudah segede itu, apalagi dibuka…?”
“Dicoba dulu Tante, baru komentar. Ayo…”
“Mmmm… Tante sudah kelamaan disini, nanti dicariin Ommu, lagipula semalam Tante sudah…”
“Kan beda rasanya? Ayo, Tan…” rayuku.
Rayuanku sekali nggak mempan, dua kali gagal, aku keluarkan penisku yang tegang dari celana pendekku, sudah…
Tante Rosa yang duduk di sebelahku tidak aku beri jarak, segera kutekan lehernya ke bawah. Hasilnya…
Mau juga Tante Rosa mengulum penisku, bahkan ia mengocok penisku dengan mulutnya.
Sejenak ia berhenti. “Enak gak, Tante gak bisa…” katanya.
“Ini…” balasku memegang kaosnya. “Saya buka ya, Tan…?”
“Pintu rumah ditutup dulu, sandal Tante dimasukin. Kalau Ommu cari, bilang gak ada ya, Tante bilang tadi ke sini sih…”
Terus aku pergi memasukkan sandal Tante Rosa ke dalam rumah, lalu aku mengunci pintu.
Kembali ke tempat duduk, Tante Rosa hanya memakai BH dan celana dalam, lalu aku melepaskan celana pendek dan kaos yang kupakai.
Aku duduk bersandar di sofa dengan telanjang, kemudian Tante Rosa melepaskan celana dalamnya. Tante Rosa sudah lupa dengan penisku yang besar, mungkin karena ia merasa nikmat sewaktu penisku dihisapnya tadi.
Ia naik ke sofa mengangkang di atas penisku yang berdiri tegak dan aku melihat jembut yang menghitam tidak dirawat menutupi bukit kecil di selangkangan, lalu ia memegang penisku menurunkan selangkangannya, selanjutnya…
Malu juga aku sewaktu tubuh telanjang Tante Rosa naik-turun di pahaku sambil kedua tangannya berpegangan pada sandaran sofa sehingga membuat lubang vaginanya bebas menggesek-gesek batang penisku yang keras.
Kadang pantatnya maju-mundur. Nikmat juga ternyata lubang vagina Tante Rosa yang masih basah sehingga aku membangunkan Tante Rosa mengajak ia ganti posisi.
Sekarang, ia menggantikan aku duduk bersandar di sofa. Aku berlutut menarik pantatnya ke pinggir sofa, lalu kunaikkan kedua kakinya ke atas tempat duduk, membuka lebar pahanya, menjilati vaginanya.
“Ohhh… ooohhh… ohhh… Tomii..iihh… mmmm… mmmm…” rintih Tante Rosa nikmat.
“Sering diginiin, Tante…?” tanyaku.
Tante Rosa menggeleng sambil memejamkan mata. “Terus, Tomi… Tante suka, nikmat, enak…” desahnya lagi sewaktu vaginanya kujilat lagi.
Kini dua jariku masuk ke dalam lubang vagina Tante Rosa merogoh rahimnya sambil bibirku menghisap dan membetot biji kelentitnya. Tante Rosa semakin tidak mampu menguasai dirinya. Tubuhnya bergerak blingsatan di sofa sewaktu ia mau orgasme, kedua tangannya meremas-remas teteknya.
Tidak lama, Tante Rosa pun melenguh, “Oooogggggghhhhhhhh…..”
“Selesai, Tante?” tanyaku dengan mulut bau vagina Tante Rosa. Amis…
“Iyaaah… baru kali ini Tom, aduuhh, Tante gak bisa menjelaskan deh…”
Lalu sambil ia duduk tertekuk di sofa, aku memasukkan penisku ke lubang vaginanya yang kini merekah menimbulkan lubang yang ternganga karena tegang.
Sluuurrpp… blleesss…
Penetrasi yang nikmat sebab penisku terbenam cukup dalam di dalam lubang vaginanya yang hangat basah. Kucium bibir Tante Rosa, mulai aku menggenjot lubang vaginanya yang licin dan membuat penisku tergelincir itu.
Sekarang aku tidak butuh sampai 10 menggenjot lubang vagina Tante Rosa, aku sudah mengejang hebat sambil mengeluarkan spermaku di lubang vagina Tante Rosa.
Crrooottt… crroott.. crroott.. crroottt… crroottt… crroottt…
Kulepaskan penisku, sedangkan Tante Rosa yang masih duduk di sofa mengangkang, dan dari lubang vaginanya kulihat mengalir turun cream berwarna putih kental.
Terus ia mengeringkan cream itu dengan celana dalamnya, lalu memakai kembali pakaiannya.
Aku minta maaf, “Nggak layak saya lakukan pada Tante.” kataku.
“Sudah terjadi, nggak usah dipikirkankan, Tante juga merasa puas kok, bukan gak enak…” jawabnya.
Istriku pulang, segala jejak perselingkuhanku dengan Tante Rosa sudah hilang, malah ia senang mendapat BH yang cocok untuk teteknya yang montok itu.
Sempat kuremas-remas tetek Ika, tapi aku tidak mau menyetubuhinya karena tubuh telanjang Tante Rosa masih terbayang di depan mataku. Percuma dan kasihan, nanti yang kusetubuhi istriku, malah yang terbayang Tante Rosa.
Tetapi sejak itu, aku tidak melihat Tante Rosa lagi. Sampai seminggu, sewaktu istriku pergi lagi ke rumah orangtuanya, aku melihat baby sitter Faselin menjemur bantal di halaman, aku mencoba bertanya pada gadis yang memakai baju biru muda terusan dan di tengah baju terusannya terdapat kancing berderet ke bawah itu.
“Da…” namanya Farida. “Nyonya kok nggak kelihatan?”
“Ya Om, Nyonya tinggal di kampung sekarang..”
“Lha…”
“Ida juga gak tau kenapa Om…”
“Faselin sama suaminya ada di rumah…?” tanyaku.
“Pulang ke rumah Bapak, Om… besok kali baru pulang, sekalian Carlo mau diajak imunisasi…”
“O… jadi kamu sendirian di rumah, Om juga sendiri, Om main ke rumah, ya…?” kataku.
“He.. he.. ya Om, rumah berantakan tapi…”
Setelah kumasukkan sepeda motorku ke dalam rumah, kukunci rumahku. Dan melihat rumah sebelah kiriku sepi segera aku menyelinap masuk ke rumah Handi, lalu kututup pintu.
“Tuh lihat di kamar, Om… berantakan baju Ibu habis ganti gak mau bawa ke kamar mandi… tadi saya hanya disuruh jaga anak, malah sekarang ikut cuci baju…”
“Sabar…” kataku.
“Sabar gimana Om, beberapa hari ini Nyonya juga marah-marah…”
“Nyonya kamu datang bulan gak lancar…” balasku.
“Hiks…” Farida tertawa tertahan.
“Kamu sudah pacar belum…?”
“Disini belum Om, tapi di kampung pernah…”
“Sudah pernah dicium…?”
“He.. he… dua kali…”
“Sama pacarmu di kampung?”
“Iya…”
“Om mau minum apa?”
“Air minum saja…” jawabku.
Farida segera pergi ke dapur, aku mengambil kesempatan masuk ke kamar Hendi dan di atas kasur pakaian suami istri itu berantakan. Mungkin semalam mereka baru habis bersetubuh, kulihat celana dalam dan BH Faselin tergeletak di lantai.
Segera kupungut dan kumasukkan ke dalam kantong celana pendekku. BH di sebelah kanan, celana dalam di sebelah kiri supaya kantong celana pendekku tidak kelihatan menggelembung, lalu dicurigai Farida.
Farida meletakkan minuman kemasan di meja ruang tamu.
“Saya rapikan kamar Bapak dulu ya, Om…?”
“Ya…” jawabku.
Jantungku berdebar-debar melihat Farida mengambil pakaian di atas tempat tidur dan aku agak sedikit tenang melihat ia membawa tumpukan pakaian itu ke belakang, namun setelah itu ia balik lagi ke kamar mengambil sapu lidi merapikan seprei.
Aku masuk ke kamar, tidak memikirkan Farida akan menjerit, aku peluk Farida dari belakang, terus aku cium lehernya yang basah berkeringat.
“Saya belum pernah Om, jangan Om, saya takut…” kata Farida tidak memberontak, malahan ia mau kubalik dan kupeluk dari depan.
Sudahlah, kukeluarkan penisku yang tegang, lalu mendorong Farida ke bawah.
“Mmmm… mmm… nggak, Om…” Farida menolak, tetapi hanya sekali itu kemudiam mau juga ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya.
Aku sadar, aku memperkosa seorang gadis yang tak berdaya, tetapi merasakan nikmat mulut Farida mengocok penisku dengan sempurna, pikiranku berubah, mungkin ia sudah tidak perawan, batinku.
Aku tidak mau berlama-lama lagi, aku menarik Farida bangun, lalu mendorongkan ke tempat tidur dan sewaktu ia mau terlentang segera kusibak seragam baby sitternya dan celana dalam Farida yang berwarna hitam segera kucium.
Farida bukannya meronta, malah ia membuka pahanya lebar-lebar untukku. Akan tetapi sewaktu kusibak celana dalamnya, aduu..uuhh… pantesan celana dalamnya bau, ternyata memeknya menempel lendir kental berwarna kekuningan. Namun melihat memeknya yang sudah keluar jengger, segera kuhisap jengger yang seperti dua irisan daging itu.
“Ooooh… Oo..oommm, aaahhh… sssesstth… aaahhh. Ommm… oh, Om…”
“Enak ya?”
“Enak Om…”
Mendengar jawabannya aku sudah kehilangan kesadaran sehingga sambil berdiri di depan tempat tidur di antara kedua paha Farida yang terkakang lebar, kutekan penisku masuk ke lubang vagina Farida.
Memang susah memasukinya, mungkin kurang pemanasan, tetapi setelah berhasil masuk dan mulai kutarik penisku, apa yang kulihat, sungguh membuat aku mau pingsan, karena merasa bersalah.
Penisku berlumuran darah segar dari lubang vagina Farida. Aku buru-buru menyelesaikan tugasku sebelum Farida sadar dan nanti merasa vaginanya nyeri.
Aku membersihkan air maniku yang telah bercampur darah perawan Farida di vagina Farida. Aku tidak berani ngomong apapun pada Farida melihat Farida bangun dan bisa berjalan sempurna ke kamar mandi.
Aku berusaha tenang karena semuanya telah terjadi, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi sambil menunggu reaksi Farida.
Lewat 2 minggu, aku bertemu dengan Faselin dengan anaknya di mall. Faselin kaget melihatku, aku juga kaget karena pernah aku menjilat lendir vaginanya yang terdapat di celana dalamnya. Kini masih tersimpan rapi di laci meja kerjaku bersama BH-nya.
“Kok hanya berdua, Lin?” tanyaku.
“Handi sekarang kantornya sudah pindah, Om Tomi. Handi ditugaskan keluar kota, bisa setahun kali disana, Om.”
“Baby sitter kamu?”
“Kan sudah keluar Om, katanya mau pulang kawin…”
“O… Mami, Om dengar di kampung ya?” tanyaku.
“Ya Om, Mami kan lagi hamil Om…”
Aku tersentak kaget. Entah terlihat oleh Faselin atau tidak, yang jelas aku kaget!
“…untuk sementara Mami istirahat di kampung dulu, nanti kalau sudah melahirkan baru balik lagi ke sini… Om mau main ke hotel Faselin?”
“Kamu menginap di hotel?”
“Ya Om, takut…”
“Kenapa kamu gak ngomong sama Om biar Om temani?” godaku.
“Nanti Tante Ika cemburu…”
“Sekarang…?”
“Kan gak ketahuan…?”
“Tante Ika ada di belakang kamu lho…” godaku.
“Ahhh… Om…” ujar Faselin gemas mencubit lenganku.
Kugenggam tangannya.
Sebentar kemudian sewaktu dapat tempat duduk di sudut foodcourd, Faselin sudah menyandarkan kepalanya di bahuku, sementara Carlo tertidur di stroller.
“Sejak Om mengenalmu dari SMA, Om baru bisa memelukmu setelah kamu punya anak…” kataku memeluk bahu Faselin.
“Ya Om, Faselin rindu sama Handi, Om…”
Kucium rambut Faselin yang wangi shampoo. “Kita balik ke hotel yuk, Om…” ajak Faselin. “Hotelnya dekat kok, di belakang mall…”
“Om perlu sediakan kondom, nggak?” godaku.
“Mmmm…” rengek Faselin manja mencubit pahaku di bawah meja.
“Soalnya Om melihat kamu sudah napsu gitu…” kataku.
Aku dan Faselin bangun dari bangku foodcourd, lalu Faselin mendorong stroller Carlo, aku berjalan di samping Faselin mengikuti langkah kakinya yang dibalut kaos kaki semata kaki dan sepatu kets.
Hotel tempat Faselin menginap bisa ditembus dari samping mall. Aku dan Faselin bersama stroller Carlo menggunakan lift untuk mencapai kamar Faselin yang terletak di lantai 9 hotel berbintang lima itu.
Carlo yang masih tidur diangkat Faselin dari stroller ke ranjang setelah sampai di dalam kamar yang berudara sejuk itu.
Setelah itu Faselin mengambil handphonenya di tas lalu duduk di ujung tempat tidur membuka handphonenya.
Faselin tidak lama melihat handphonenya dan aku juga sudah tidak tahan melihat Faselin. Sewaktu Faselin meletakkan handphonenya di atas meja, segera kurobohkan Faselin di kasur.
“Om Tomiii..ii, ha.. ha…” seru Faselin sewaktu kutarik turun celana legging bersama celana dalam yang dipakainya, terus segera aku hunuskan penisku yang tegang dari celanaku. Sambil kupegang batang penisku dengan tangan, aku berusaha memasukkan batang penisku ke lubang vagina Faselin secepatnya.
“Om… Om… ha.. ha… Om.. Om…” teriak Faselin, akan tetapi tidak segampang itu aku memasukkan penisku ke lubang vagina Faselin.
Terlalu sempit lubang vagina Faselin untuk penisku yang besar.
Aku lalu mencium bibir Faselin yang masih segar dan seketika bibir kami berduapun saling melumat dan saling berpagutan seperti tidak ada hari esok lupa dengan Carlo yang masih tidur di samping tempat kami bergumul.
Aku melepaskan sepatu kets dan kaos kaki Faselin, dilanjutkan dengan melepaskan celana legging dan celana dalamnya yang menggantung di pertengahan pahanya.
Setelah itu aku melepaskan celana panjangku dan celana dalam bersama kaos yang kupakai sehingga tubuhku telanjang dan kucium kaki Faselin yang putih mulus. Kuhisap jempol kakinya sambil telapak tanganku menelusuri pahanya yang mulus.
Lupa sudah aku dengan istriku karena merasa nikmat berselingkuh dengan istri orang lain, karena Faselin memberikan aku menjilati vaginanya yang masih mulus berbulu hitam halus itu.
Aku tidak ingin kehilangan kesempatan, karena Faselin memberi aku kebebasan. Pahanya yang putih mulus itu terbuka lebar, sehingga aku benar-benar menikmati vagina Faselin, tak ingin aku kehilangan sesentipun.
“Ssesstt… ohhh… Omm… seesstt… ooohh… ooohh…” desis Faselin ksrena ia sudah sangat terangsang.
Aku juga tidak tahan lagi, karena khawatir Carlo bangun, lalu aku memasang penisku di depan lubang vagina Faselin dan dibantu oleh Faselin, akhirnya peniskupun terbenam di dalam lubang vagina Faselin yang masih kencang dan mencengkeram batang penisku dengan erat.
Aku dan Faselin sudah seperti suami istri, kami berciuman sambil penisku bekerja di lubang vaginanya.
“Ooohhh… Omm… ooohh… oohhh…”
Kucium bibir Faselin. Kuremas-remas payudaranya yang masih kencang itu dengan liar, dan sewaktu air maniku terasa sudah mau keluar, sodokanku juga semakin cepat, sehingga sewaktu detik-detik kenikmatan itu datang, aku siram rahim Faselin dengan air maniku yang hangat.
Crrooott… crrooott… crrooott… crroottt… rasanya begitu nikmat sewaktu air maniku nyemprot di dalam lubang vaginz Faselin, sehinggz setelah air maniku keluar, aku tidak ingin buru-buru mencabut penisku.
Aku memeluk Faselin seperti aku telah jatuh cinta padanya dan tidak ingin sedetikpun aku ingin menjauh darinya.
Aku lalu mengajak Faselin pulang. Aku ingin menjaganya dan menghilangkan rasa takutnya sekaligus mengusir kerinduan dari suaminya, Handi.
Kemudian, mudah-mudahan Faselin hamil, sehingga menjadikannya istriku yang kedua.
Mohon doa restunya agar istriku mengizinkan aku menikah lagi. Tetapi tanpa dinyana Tante Rosa pulang ke rumah setelah melahirkan di kampung.
Anaknya tidak dibawa pulang, ditinggalkan di kampung pada saudaranya. Dan Tante Rosa kelihatan lebih cantik setelah ia melahirkan.
Tetapi sewaktu ia bertemu dan berbicara denganku ia seperti tidak punya masalah denganku dan anaknya yang dilahirkannya itu seperti bukan milikku, padahal anaknya itu milikku juga karena dihasilkan dari spermaku.
Akan tetapi setelah beberapa waktu Tante Rosa pulang, Faselin pergi ikut suaminya, berarti hilang juga harapanku ingin menjadikan Faselin istri yang kedua.
“Kok tiba-tiba Faselin pergi, Tante…?” tanyaku.
“Bukannya kamu senang nggak ada Faselin kamu bisa indehoy terus dengan aku…?” jawab Tante Rosa tidak menyinggung masalah ia punya anak, malah ia membuat aku seperti mendapatkan kembali permataku yang sudah lama hilang.
“Soalnya lama gak ketemu, Tante tambah cantik aja sih…” jawabku.
“Tambah gemuk ya iya setelah aku melahirkan…” akhirnya ia berkata juga.
“Anaknya sehat, Tante…? Anak kita bukan…? Kenapa ditinggal di kampung?”
“Sudah, jangan diperpanjang, memang anak itu hubungan aku sama kamu, maka itu aku tinggalkan saja di kampung ikut dengan adikku…”
“Aku mau lihat, boleh…?”
“Jangan, nggak mirip dengan kamu kok, maka itu suamiku gak curiga…”
“Jadi, sekarang kita putus hubungan dong, Tante…?”
“Sebaiknya begitu saja ya, mumpung tetangga belum tau…”
“Aku sih terserah sama Tante saja… karena sampai ketahuan tetangga, aku juga sudah siap menjadikan Tante istriku…” jawabku.
“Kenapa tidak sekarang…?” goda Tante Rosa.
Tante Rosa ingin aku menjadikannya istriku sekarang… hmmmm… kupeluk saja Tante Rosa, kubalut bibirnya dengan bibirku.
Bagaimana reaksinya?
Kami bercumbu di sofa ruang tamunya sampai napas Tante Rosa tidak teratur, iapun merelakan aku melepaskan celananya.
Dan di sofa ruang tamunya itu aku membaringkan Tante Rosa yang sudah tidak memakai celana, kemudian kubimbing penisku yang tegang ke lubang vaginanya yang baru sebulan melahirkan.
Lubang vagina Tante Rosa menerima penisku tanpa hambatan. Dan setelah terbenam semuanya, tanpa menunggu lagi aku segera menggesek-gesekkan batang penisku di lubang vagina Tante Rosa yang licin dan basah.
“Aaahhh… aaahhh… aahhh… Tommiii..ii… ooohhh… ooohh… ooohh…” rintih Tante Rosa membuat aku semakin bersemangat memompakan lubang vaginanya, selain nikmat.
“Aku tidak mengizinkan Tante pergi lagi…” kataku sambil menggenjotnya. “Aku akan minta izin dengan Ika untuk mengambil Tante menjadi istriku, anak kita, kita bawa pulang…”
Tak lama kemudian, air manikupun melebur menjadi satu dengan cairan cinta Tante Rosa.
Wajahnya tampak kepuasan, lalu aku menarik penisku keluar, sedang dari paha Tante Rosa yang terkakang lebar, tampak cairan creamy meleleh keluar di lubang vaginanya yang ternganga…
Dari sejak siang itu, secara sembunyi-sembunyi menunggu proses cerainya aku terus berhubungan intim dengan Tante Rosa, paling sedikit seminggu sekali, tetapi untuk menjadikannya istri, entah kapan, harus menunggu keputusan pengadilan….







